| sebuah blog sederhana |

.
)|( Dimana Inspirasi semua Bermula )|( Faidza Azzamta Fatawakkal Alallah )|( Al Wajaba Aktsaru Minal Auqaat )|( As Shabru Fii Awwali Shadam )|(

Total Pengunjung

Hepatitis


TINJAUAN PUSTAKA


HEPATITIS




Oleh :
Heri Wahyudi (0702005065)





Pembimbing :
dr. Ketut Suardamana, Sp.PD



DALAM RANGKA MENJALANI KEPANITERAAN KLINIK MADYA
DI BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM RSUP SANGLAH
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS UDAYANA
FEBRUARI 2013

BAB I
PENDAHULUAN

Hepatitis virus akut adalah infeksi sistemik yang dominan menyerang hati. Hampir semua kasus hepatitis virus akut disebabkan oleh salah satu dari lima jenis virus yaitu: virus hepatitis A (HAV), virus hepatitis B (HBV), virus hepatitis C (HCV), virus hepatitis D (HDV) dan virus hepatitis E (HEV). Jenis virus lain yang ditularkan pascatransfusi seperti virus hepatitis G dan virus TT telah dapat diidentifikasi akan tetapi tidak menyebabkan hepatitis. Semua jenis hepatitis virus yang menyerang manusia merupakan virus RNA kecuali virus hepatitis B, yang merupakan virus DNA. Walaupun virus-virus tersebut berbeda dalam sifat molecular dan antigen, akan tetapi semua jenis virus tersebut memperlihatkan kesamaan dalam gejala klinis dan perjalanan penyakitnya. Gambaran klinis hepatitis virus sangat bervariasi mulai dari asimtomatik sampai yang sangat berat yaitu hepatitis fulminan yang dapat menimbulkan kematian. Selain itu, gejala juga bisa bervariasi dari infeksi persisten subklinis sampai penyakit hati kronik progresif cepat dengan sirosis hepatis dan karsinoma hepatoseluler yang umum ditemukan pada tipe virus yang ditransmisi melalui darah (HBV, HCV, dan HDV).1,2
Hepatitis virus akut merupakan urutan pertama dair berbagai penyakit hati di seluruh dunia. Penyakit tersebut ataupun gejala sisanya bertanggung jawab atas 1-2 juta kematian setiap tahunnya. Banyak episode hepatitis dengan klinik anikterik, tidak nyata atau subklinis. Secara global virus hepatitis merupakan penyebab utama viremia yang persisten. Di Indonesia berdasarkan data yang berasal dari rumah sakit, hepatitis A masih merupakan bagian terbesar dari kasus-kasus hepatitis akut yang dirawat yaitu berkisar dari 39,8-68,3%. Peningkatan prevalensi anti HAV yang berhubungan dengan umur mulai terjadi dan lebih nyata di daerah dengan kondisi kesehatan di bawah standar. Lebih dari 75% anak dari berbagai benua Asia, Afrika, India, menunjukkan sudah memiliki antibody anti-HAV pada usia 5 tahun. Sebagian besar infeksi HAV didapat pada awal kehidupan, kebanyakan asimtomatik atau sekurangnya aniktertik.1
Tingkat prevalensi hepatitis B di Indonesia sangat bervariasi berkisar dari 2,5% di Banjarmasin sampai 25,61% di Kupang, sehingga termasuk dalam  kelompok negara dengan endemisitas sedang sampai tinggi. Di negara-negara Asia diperkirakan bahwa penyebaran perinatal dari ibu pengidap hepatitis merupakan jawaban atas prevalensi infeksi virus hepatitis B yang tinggi. Hampir semua bayi yang dilahirkan dari ibu dengan HBeAg positif akan terkena infeksi pada bulan kedua dan ketiga kehidupannya. Adanya HbeAg pada ibu sangat berperan penting untuk penularan. Walaupun ibu mengandung HBsAg positif namun jika HBeAg dalam darah negative, maka daya tularnya menjadi rendah. Data di Indonesia telah dilaporkan oleh Suparyatmo, pada tahun 1993, bahwa dari hasil pemantauan pada 66 ibu hamil pengidap hepatitis B, bayi yang mendapat penularan secara vertical adalah sebanyak 22 bayi (45,9%).1
Prevalensi anti-HCV pada donor darah di beberapa tempat di Indonesia menunjukkan angka di antara 0,5%-3,37%. Sedangkan prevalensi anti HCV pada hepatitis virus akut menunjukkan bahwa hepatitis C (15,5%-46,4%) menempati urutan kedua setelah hepatitis A akut (39,8%-68,3%) sedangkan urutan ketiga ditempati oleh hepatitis B (6,4%-25,9%). Untuk hepatitis D, walaupun infeksi hepatitis ini erat hubungannya dengan infeksi hepatitis B, di Asia Tenggara dan Cina infeksi hepatitis D tidak biasa dijumpai pada daerah dimana prevalensi HBsAg sangat tinggi. Laporan dari Indonesia pada tahun 1982 mendapatkan hasil 2,7% (2 orang) anti HDV positif dari 73 karier hepatitis B dari donor darah. Pada tahun 1985, Suwignyo dkk melaporkan, di Mataram, pada pemeriksaan terhadap 90 karier hepatitis B, terdapat satu anti HDV positif (1,1%).1
Hepatitis E (HEV) di Indonesia pertama kali dilaporkan terjadi di Sintang Kalimatan Barat yang diduga terjadi akibat pencemaran sungai yang digunakan untuk aktivitas sehari-hari. Didapatkan HEV positif sebanyak 28/82 (34,1%). Letupan kedua terjadi pada tahun 1991, hasil pemeriksaan menunjukkan HEV positif 78/92 orang (84,7%). Di daerah lain juga ditemukan adanya HEV seperti di kabupaten Bawen, Jawa Timur. Pada saat terjadi letupan tahun 1992, ditemukan 2 kasus HEV dari 34 sampel darah. Dari rumah sakit di Jakarta ditemukan 4 kasus dari 83 sampel.1


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Hepatitis A
Virus hepatitis A adalah suatu penyakit dengan distribusi global. Prevalensi infeksi yang ditandai dengan tingkatan antibody anti-HAV telah diketahui secara universal dan erat hubungannya dengan standar sanitasi/kesehatan daerah yang bersangkutan. Meskipun virus hepatitis A ditularkan melalui air dan makanan yang tercemar, namun hampir sebagian besar infeksi HAV didapat melalui transmisi endemic atau sporadic yang sifatnya tidak begitu dramatis.3
Epidemiologi dan transmisi VHA mencakup beberapa faktor sebagai berikut :
Variasi musim dan geografi. Di daerah dengan 4 musim, infeksi VHA terjadi secarea epidemic musiman yang puncaknya biasanya terjadi pada akhir musim semi dan awal musim dingin. Penurunan kejadian VHA  akhir-akhir ini telah menunjukan bahwa infeksi VHA terbatas pada kelompok social tertentu yaitu kelompok turis yang sering bepergian, sehingga variasi musiman sudah tidak begitu menonjol lagi. Di daerah tropis puncak insiden yang pernah dilaporkan cenderung untuk terjadi selama musim hujan dan pola epidemic siklik berulang setiap 5-10 tahun sekali, yang mirip dengan penyakit virus lain.3
Usia Insidens. Semua kelompok umur secara umum rawan terhadap infeksi VHA. Insidens tertinggi pada populasi orang sipil, anak sekolah, tetapi dibanyak negara di Eropa Utara dan Amerika Utara ternyata sebagian kasus terjadi pada orang dewasa. Di negara berkembang dimana kondisi hygiene dan sanitasi sangat rendah, paparan universal terhadap VHA teridentifikasi dengan adanya prevalensi anti-VHA yang sangat tinggi pada tahun pertama kehidupan dan tentu saja gambaran usia prevalensi anti-HAV benar-benar tergantung pada kondisi-kondisi sosio-ekonomi sebelumnya. Peningkatan prevalensi anti-HAV yang berhubungan dengan umur mulai terjadi dan lebih nyata di daerah dengan kondisi kesehatan dibawah standar.3
Di negara-negara yang maju secara kontras diketahui bahwa insidens infeksi virus hepatitis A telah menurun dalam beberapa tahun terakhir ini dan telah beralih ke usia yang lebih tua, hal ini disebabkan kondisi secara social dan ekonomi lebih baik, begitu pula hygiene dan sanitasi. Seperti di negara-negara lain di dunia di Indonesia pun hepatitis A merupakan masalah kesehatan. Berdasarkan data yang berasal dari rumah sakit, hepatitis A masih merupakan bagian terbesar dari kasus-kasus hepatitis akut yang dirawat yaitu berkisar dari 39,8%-68,3 kemudan disusul oleh hepatitis non A-non B sekitar 15,5%-46,4% dan hepatitis B 6,4%-25,9%.3
2.1.1. Etiologi
Virus hepatitis A merupakan partikel dengan ukuran diameter 27 nanometer dengan bentuk kubus simetrik tergolong virus hepatitis terkecil, termasuk golongan pikornavirus. Ternyata hanya terdapat satu serotype yang dapat menimbulkan hepatitis pada manusia. Dengan mikroskop electron terlihat virus tidak memiliki mantel, hanya memiliki suatu nukleokapsid yang merupakan ciri khas dari antigen virus hepatitis A.3
Seuntai molekul RNA terdapat dalam kapsid, satu ujung dari RNA ini disebut viral protein genomik (VPg) yang berfungsi menyerang ribosom sitoplasma sel hati. Virus hepatitis A bisa dibiak dalam kultur jaringan. Replikasi dalam tubuh dapat terjadi dalam sel epitel usus dan epitel hati. Virus hepatitis A yang ditemukan di tinja berasal dari empedu yang dieksresikan dari sel-sel hati setelah replikasinya, melalui sel saluran empedu dan dari sel epitel usus. Virus hepatitis A sangat stabil dan tidak rusak dengan perebusan singkat dan tahan terhadap panas pada suhu 60ºC selama ± 1 jam. Stabil pada suhu udara dan pH yang rendah. Tahan terhadap pH asam dan asam empedu memungkinkan VHA melalui lambung dan dikeluarkan dari tubuh melalui saluran empedu.3
(dikutip dari Harrison)
2.1.2. Masa Inkubasi dan Transmisi
Penelitian pada sukarelawan memperlihatkan masa inkubasi hepatitis A akut bervariasi antara 14 hari sampai 49 hari, dengan rata-rata 30 hari. Penularan hepatitis A yang paling dominan adalah melalui faecal-oral. Umumnya penularan dari orang ke orang. Kemungkinan penularannya didukung oleh faktor higienis pribadi penderita hepatitis.Penularan hepatitis A terjadi secara faecal-oral yaitu melalui makanan dan minuman yang tercemar oleh virus hepatitis A. Untuk kelompok homoseksual amat mungkin cara penularan adalah fecal-anal-oral. Ditinjau dari kelompok umur, makin bertambah usia making tinggi kemungkinan sudah memiliki antibody secara alamiah terjadi baik setelah terinfeksi dengan bergejala maupun yang asimtomatik.3
2.1.3. Gejala Klinis3
Hepatitis A merupakan penyakit yang terutama menyerang anak dan dewasa muda. Pada fase akut hepatitis A umumnya 90% asimtomatik atau bentuk yang ringan dan hanya sekitar 1% yang timbul ikterus.
Pada anak manifestasinya sering kali asimtomatk dan anikterik. Gejala dan perjalanan klinis hepatitis virus akut secara umum dapat dibedakan dalam 4 stadium :
1. Masa Tunas. Lamanya viremia pada hepatitis A 2-4 Minggu. 2. Fase pra-ikterik/prodromal. Keluhan umumnya tidak spesifik, dapat berlangsung 2-7 hari, gambaran sangat bervariasi secara individual seperti ikterik, urin berwarna gelap, lelah/lemas, hilang nafsu makan, nyeri & rasa tidak enak di perut, tinja berwarna pucat, mual dan muntah, demam kadang-kadang menggigil, sakit kepala, nyeri pada sendi, pegal-pegal pada otot, diare dan rasa tidak enak di tenggorokan. Dengan keluhan yang beraneka ragam ini sering menimbulkan kekeliruan pada waktu mendiagnosis, sering diduga sebagai penderita influenza, gastritis maupun arthritis. 3. Fase Ikterik. Fase ini pada awalnya disadari oleh penderita, biasanya setelah demam turun penderita menyadari bahwa urinnya berwarna kuning pekat seperti air teh ataupun tanpa disadari, orang lain yang melihat sclera mata dan kulitnya berwarna kekuning-kuningan. Pada fase ini kuningnya akan meningkat, menetap, kemudian menurun secara perlahan-lahan, hal ini bisa berlangsung sekitar 10-14 hari. Pada stadium ini gejala klinis sudah mulai berkurang dan pasien merasa lebih baik. Pada usia lebih tua dapat terjadi gejala kolestasis dengan kuning yang nyata dan bisa berlangsung lama dan 4. Fase penyembuhan. Fase penyembuhan dimulai dengan menghilangkan sisa gejala tersebut diatas, ikterus mulai menghilang, penderita merasa segar kembali walau mungkin masih terasa cepat capai.
Umumnya, masa penyembuhan sempurna secara klinis dan biokimia memerlukan waktu sekitar 6 bulan. Menurut Koff (1992) pada beberapa kasus dapat terjadi penyimpangan : sebanyak 20% penderita memperlihatkan perjalanan yang polifasik, setelah penderita sembuh terjadi lagi peningkatan SGPT. Dilaporkan 50-90 hari setelah timbul keluhan dan hepatitis kolestasis timbul pada sebagian kecil kasus dimana terjadi peningkatan kembali bilirubin serum yang baru menghilang 2-4 bulan kemudian (prolonged cholestasis) hepatitis fulminant, merupakan komplikasi yang sangat jarang kurang dari 1%, kematiannya yang tinggi tergantung dari usia penderita.
2.1.4. Patogenesis3
Antigen hepatitis A dapat ditemukan dalam sitoplasma sel hati segera sebelum hepatitis akut timbul. Kemudian, jumlah virus akan menurun setelah timbul manifestasi klinis, baru kemudian muncul IgM anti HAV spesifik. Kerusakan sel-sel hati terutama terjadi karena viremia yang terjadi dalam waktu sangat pendek dan terjadi pada masa inkubasi. Serngan antigen virus hepatitis A dapat ditemukan dalam tinja 1 minggu setelah ikterus timbul. Kerusakan sel hati disebabkan oleh aktifasi sel T limfosit sitolitik terhadap targetnya, yaitu antigen virus hepatitis A. Pada keadaan  ini ditemukan HLA-Restricted Virus specific cytotoxic CD8+ T Cell di dalam hati pada hepatitis virus A yang akut. Gambaran histologis dari sel parenkim hati yaitu terdapatnya nekrosis sel hati berkelompok, dimulai dari senter lobules yang diikuti oleh infiltrasi sel limfosit, makrofag, sel plasma, eosinofil, dan neutrofil. Ikterus terjadi sebagai akibat hambatan aliran empedu karena kerusakan sel parenkim hati, terdapat peningkatan bilirubin direct dan indirect dalam serum. Ada 3 kelompok kerusakan yaitu di daerah portal, di dalam lobules, dan di dalam sel hati. Dalam lobules yang mengalami nekrosis terutama yang terletak di bagian sentral. Kadang-kadang hambatan aliran empedu ini mengakibatkan tinja berwarna pucat seperti dempul (faeces acholis) dan juga terjadi peningkatan enzim fosfatase alkali, 5 nukleotidase dan gama glutamil transferase (GGT). Kerusakan sel hati akan menyebabkan pelepasan enzim transminase ke dalam darah. Peningkatan SGPT memberi petunjuk adanya kerusakan sel parenkim hati lebih spesifik daripada peningkatan SGOT, karena SGOT juga akan meningkat bila terjadi kerusakan pada myocardium dan sel otot rangka. Juga akan terjadi peningkatan enzim laktat dehidrogenase (LDH) pada kerusakan sel hati. Kadang-kadang hambatan aliran empedu (cholestasis) yang lama menetap setelah gejala klinis sembuh.
2.1.5. Diagnosis3
Diagnosis ditegakkan berdasarkan atas gejala klinis dan dibantu dengan sarana penunjang pemeriksaan laboratorium. Anamnesa : gejala prodromal, riwayat kontak. Pemeriksaan jasmani : warna kuning terlihat lebih mudah pada sclera, kulit, selaput lendir langit-langit mulut, pada kasus yang berat (fulminant). Didapatkan mulut yang berbau spesifik (foeter hepaticum). Pada perabaan hati membengkak, 2 sampai 3 jari di bawah arcus costae, konsistensi lunak, tepi tajam dan sedikit nyeri tekan. Perkusi pada abdomen kuadran kanan atas, menimbulkan rasa nyeri dan limpa kadang-kadang membesar, teraba lunak. Pemeriksaan laboratorium : tes fungsi hati (terdapat peninggian bilirubin, SGPT dan kadang-kadang dapat disertai peninggian GGT, fosfatase alkali), dan tes serologi anti HAV, yaitu IgM anti HAV yang positif.
2.1.6. Laboratorium3








(dikutip dari Buku Ajar Ilmu Penyakit Hati)
Untuk menunjang diagnosis perlu dibantu dengan pemeriksaan laboratorium yaitu dengan timbulnya gejala, maka anti-HAV akan menjadi positif. IgM anti-HAV adalah subkelas antibody terhadap HAV. Respons inisial terhadap infeksi HAV hampir seluruhnya adalah IgM. Antibodi ini akan hilang dalam waktu 3-6 bulan. IgM anti-HAV adalah spesifik untuk diagnosis dan konfirmasi infeksi hepatitis A akut. Infeksi yang sudah lalu atau adanya imunitas ditandai dengan adanya anti-HAV total yang terdiri atas IgG anti-HAV dan IgM anti-HAV. Antibodi IgG akan naik dengan cepat setelah virus dieradikasi lalu akan turun perlahan-lahan setelah beberapa bulan. Petanda anti-HAV berguna bagi penelitian epidemiologis dan status imunitas.
2.1.7. Penatalaksanaan1
Tidak ada tatalaksana yang khusus untuk HAV
I.                   Perawatan Suportif
a.       Pada periode akut dan dalam keadaan lemah diharuskan cukup istirahat. Aktivitas fisik yang berlebihan dan berkepanjangan harus dihindari.
b.      Manajemen khusus untuk hati dapat dapat diberikan sistem dukungan untuk mempertahankan fungsi fisiologi seperti hemodialisis, transfusi tukar, extracorporeal liver perfusion, dan charcoal hemoperfusion.
c.       Rawat jalan pasien, kecuali pasien dengan mual atau anoreksia berat yang akan menyebabkan dehidrasi sebaiknya diinfus.
Perawatan yang dapat dilakukan di rumah, yaitu :
·         Tetap tenang, kurangi aktivitas dan banyak istirahat di rumah
·         Minum banyak air putih untuk menghindari dehidrasi
·         Hindari minum obat yang dapat melukai hati seperti asetaminofen dan obat yang mengandung asetaminofen
·         Hindari minum minuman beralkohol
·         Hindari olahraga yang berat sampai gejala-gejala membaik
II.                Dietetik
a.       Makanan tinggi protein dan karbohidrat, rendah lemak untuk pasien yang dengan anoreksia dan nausea.
b.      Selama fase akut diberikan asupan kalori dan cairan yang adekuat. Bila diperlukan dilakukan pemberian cairan dan elektrolit intravena.
c.       Menghindari obat-obatan yang di metabolisme di hati, konsumsi alkohol, makan-makanan yang dapat menimbulkan gangguan pencernaan, seperti makanan yang berlemak
III.             Medikamentosa
a.       Tidak ada pengobatan spesifik untuk hepatitis A.
b.      Obat-obatan diberikan hanya untuk mengurangi gejala-gejala yang ditimbulkan, yaitu bila diperlukan diberikan obat-obatan yang bersifat melindungi hati, antiemetik golongan fenotiazin pada mual dan muntah yang berat, serta vitamin K pada kasus yang kecenderungan untuk perdarahan. Pemberian obat-obatan terutama untuk mengurangi keluhan misalnya tablet antipiretik parasetamol untuk demam, sakit kepala, nyeri otot, nyeri sendi.

2.1.8. Pencegahan
Lamanya penyembuhan yang kadang-kadang memerlukan waktu sampai 4-6 bulan sampai tes faal hati menjadi normal, faktor ini yang akan menyebabkan kerugian dalam hal kehilangan produktivitas kerja, dan pada anak-anak tentu saja tertinggal dalam hal pelajaran, juga biaya perawatan yang tinggi. Bila dilakukan analisa manfaat biaya tentu saja akan lebih ekonomis kalau dilakukan suatu usaha pencegahan, pertama dengan pola hidup yang baik dan bersih dan usaha kedua dengan imunisasi.3
A.    Upaya Preventif umum4
Upaya preventif umum ini mencakup upaya perbaikan sanitasi yang tampak sederhana, tetapi sering terlupakan. Namun demikian, upaya ini memberikan dampak epidemiologis yang positif karena terbukti sangat efektif dalam memotong rantai penularan hepatitis A.
a.       Perbaikan hygiene makanan-minuman. Upaya ini mencakup memasak air dan makanan sampai mendidih selama minimal 10 menit, mencuci dan mengupas kulit makanan terutama yang tidak dimasak, serta meminum air dalam kemasan (kaleng / botol) bila kualitas air minum non kemasan tidak meyakinkan.
b.      Perbaikan hygiene-sanitasi lingkungan-pribadi. Berlandaskan pada peran transmisi fekal-oral HAV. Faktor hygiene-sanitasi lingkungan yang berperan adalah perumahan, kepadatan, kualitas air minum, sistem limbah tinja, dan semua aspek higien lingkungan secara keseluruhan. Mencuci tangan dengan bersih (sesudah defekasi, sebelum makan, sesudah memegang popok-celana), ini semua sangat berperan dalam mencegah transmisi VHA.
c.       Isolasi pasien. Mengacu pada peran transmisi kontrak antar individu. Pasien diisolasi segera setelah dinyatakan terinfeksi HAV. Anak dilarang datang ke sekolah atau ke tempat penitipan anak, sampai dengan dua minggu sesudah timbul gejala. Namun demikian, upaya ini sering tidak banyak menolong karena virus sudah menyebar jauh sebelum yang bersangkutan jatuh sakit.

B. Upaya Preventif Khusus4
Pencegahan secara khusus dengan imunisasi. Cara pemberian imunisasi yaitu secara pasif dan aktif. Imunitas secara pasif diperoleh dengan memberikan imunoglobulin yang spesifik yang berasal dari plasma donor yang sudah sembuh atau baru saja mendapat vaksin. Kekebalan ini tidak akan berlangsung lama karena akan dimetabolisme oleh tubuh. Pencegahan ini dapat digunakan segera pada mereka yang telah terpapar kontak atau sebelum kontak (pada wisatawan yang ingin pergi ke daerah endemis). Pemberian dengan menggunakan HB-Ig (Human Normal Imunoglobulin), dosis yang dianjurkan adalah 0,02 mL/kg BB, diberikan dalam kurun waktu tidak lebih dari satu minggu setelah kontak, dan berlaku untuk 2 bulan.  United States Public Health Advisory Committee menganjurkan bagi mereka yang melakukan kunjungan singkat kurang dari 2 bulan, dosis HB-Ig 0,02 mL/kg BB, sedangkan bagi mereka yang berpergian lebih lama dari 4 bulan, diberikan dosis 0,08 mL/kg BB Bagi mereka yang sering berpegian ke daerah endemis, dianjurkan untuk memeriksakan total anti-HAV. Jika hasil laboratorium yang didapat positif, tidak perlu lagi pemberian imunoglobulin, dan tentu saja bila hasil laboratorium negatif sebaiknya diberikan imunisasi aktif sehingga kekebalan yang akan didapat tentu akan lebih bertahan lama.
            Vaksin hepatitis A yang tersedia saat ini adalah vaksin hidup yang dilemahkan (live attenuated). Perkembangan pembuatan vaksin tergantung kepada strain virus yang diisolasi yang harus tumbuh dengan baik dan dapat memberikan antigen yang cukup. Sejak tahun 1993 Report of the committee on Infectious Disease mengizinkan penggunaan beberapa vaksin yaitu Havrix, Avaxim, dan Vaqta. Di Indonesia telah dipasarkan sejak tahun 1993 oleh Smith Kline Beecham, dengan nama dagang HAVRIX, tiap kemasan satu flacon berisi standar dosis satu ml (720 Elisa Unit) dengan pemakaian pada orang dewasa satu flacon dan pada anak kurang dari 10 tahun cukup setengah dosis. Jadwal yang dianjurkan adalah sebanyak 3 kali pemberian yaitu 0,1,6 bulan.

2.2. Hepatitis B
Infeksi virus hepatitis B (VHB) masih merupakan masalah yang besar di Indonesia karena prevalensi yang tinggi dan komplikasinya. Di daerah dengan endemic tinggi, infeksi VHB biasanya terjadi melalui infeksi perinatal atau pada awal masa kanak-kanak. VHB sendiri biasanya tidak sitopatik. Infeksi kronik VHB merupakan suatu proses dinamis dengan terjadi interaksi antara virus, hepatosit dan sistem imun manusia.3
Perjalanan penyakit hepatitis B kronik dengan HBeAg, HBV DNA positif di wilayah Asia-Pasifik masih belum banyak diteliti, namun reaktivasi hepatitis dan progresivitas penyakit memang dapat terjadi. Telah ditemukan di bidang biologi molekuler bahwa untuk pathogenesis VHB ada peran covalently closed circular DNA (cccDNA) dalam terjadinya infeksi kronik VHB yang menetap.3
Hepatitis B biasanya ditularkan dari orang ke orang melalui darah (penerima produk darah, pasien hemodialisa, pekerja kesehatan atau terpapar darah). Virus hepatiitis B ditemukan di cairan tubuh yang memiliki konsentrasi virus hepatitis B yang tinggi seperti semen, sekret servikovaginal, saliva, dan cairan tubuh lainnya sehingga cara transmisi hepatitis B yaitu transmisi seksual. Cara transmisi lainnya melalui penetrasi jaringan (perkutan) atau permukosa yaitu alat-alat yang tercemar virus hepatitis B seperti sisir, pisau cukur, alat makan, sikat gigi, tato, akupuntur, tindik, alat kedokteran, dan lain-lain. Cara transmisi lainnya yaitu transmisi maternal-neonatal, maternal-infant, akan tetapi tidak ada bukti penyebaran fekal-oral.1,5

2.2.1. Etiologi
Virus Hepatitis B5
            Virus hepatitis B adalah virus DNA berselubung ganda berukuran 42 nm memiliki lapisan permukaan dan bagian inti dengan masa inkubasi sekitar 60 sampai 90 hari. Terdapat 3 jenis partikel virus yaitu : (1) Sferis dengan diameter 17 – 25 nm dan terdiri dari komponen selubung saja dan jumlahnya lebih banyak dari partikel lain. (2) Tubular atau filamen, dengan diameter 22 – 220 nm dan terdiri dari komponen selubung. (3) Partikel virion lengkap atau partikel Dane terdiri dari genom HBV dan berselubung, diameter 42 nm.
            Protein yang dibuat oleh virus ini bersifat antigenik serta memberi gambaran tentang keadaan penyakit (pertanda serologi khas) adalah : (1) Surface antigen atau HBsAg yang berasal dari selubung, yang positif kira-kira 2 minggu sebelum terjadinya gejala klinis. (2) Core antigen atau HBcAg yang merupakan nukleokapsid virus hepatitis B. (3) E antigen atau HBeAg yang berhubungan erat dengan jumlah partikel virus yang merupakan antigen spesifik untuk hepatitis B.

hepb  
(Dikutip dari Harrison)

2.2.2. Patogenesis3
Virus hepatitis B masuk ke dalam tubuh secara parenteral. Dari peredaran darah, partikel Dane masuk ke dalam hati dan terjadi replikasi virus. Selanjutnya sel-sel hati akan memproduksi dan mensekresi partikel Dane utuh, partikel HBsAg bentuk bulat dan tubuler, dan HBeAg yang tidak ikut membentuk partikel virus. VHB merangsang respon imun tubuh, yaitu respon imun non-spesifik dan respon imun spesifik.
            VHB merangsang pertama kali respon imun non-spesifik ini (innate immune response) karena dapat terangsang dalam waktu pendek, dalam beberapa menit sampai beberapa jam. Proses eliminasi nonspesifik ini terjadi tanpa restriksi HLA, yaitu dengan memanfaatkan sel-sel NK dan NK-T.
            Untuk prosese eradikasi VHB lebih lanjut diperlukan respon imun spesifik yaitu dengan mengaktivasi limfosit T dan sel limfosit B. Aktivasi sel T CD8+ terjadi setelah kontak reseptor T tersebut dengan kompleks peptida VHB-MHC kelas I yang ada pada permukaan dinding sel hati dan pada permukaan dinding APC (Antigen Precenting Cell) dan dibantu dengan rangsangan sel T CD4+ yang sebelumnya sudah mengalami kontak dengan kompleks peptida VHB-MHC kelas II pada dinding APC. Peptida VHB yang ditampilkan pada permukaan  dinding sel hati dan menjadi antigen sasaran respon imun adalah peptida kapsid, yaitu HBcAg atau HBeAg. Sel T CD8+ selanjutnya akan mengeliminasi virus yang ada dalam neksrosis sel hati yang akan menyebabkan meningkatnya ALT atau mekanisme sitolitik. Disamping itu dapat juga terrjadi eliminasi virus intrasel tanpa kerusakan sel hati yang terinfeksi melalui aktivitas Interferon Gamma dan TNF alfa (Tissue Necroting Factor) yang dihasilkan oleh sel T CD8+ (mekanisme nonsitolitik).
            Aktivitas sel limfosit B dengan bantuan sel CD4+ akan menyebabkan produksi antibodi antara lain anti-HBs, anti-HBc, dan anti HBe. Fungsi anti-HBs adalah netralisasi partikel VHB bebas akan mencegah masuknya virus ke dalam sel. Dengan demikian anti-HBs akan mencegah penyebaran virus dari sel ke sel. Infeksi kronik VHB bukan disebabkan gangguan produksi anti-HBs. Buktinya pada pasien Hepatitis B Kronik ternyata dapat ditemukan adanya anti-HBs yang tidak bisa dideteksi dengan metode pemeriksaan biasa karena anti-HBs bersembunyi dalam kompleks dengan HBsAg.
Bila proses eliminasi virus berlangsung efisien maka infeksi VHB dapat diakhiri, sedangkan bila proses tersebut kurang efisien maka terjadi infeksi VHB yang menetap. Proses eliminasi VHB oleh respon imun yang tidak efisien dapat disebabkan oleh faktor viral maupun faktor pejamu.
Setelah terinfeksi VHB, penanda virologis pertama yang terdeteksi dalam serum adalah HBsAg. HBsAg dalam sirkulasi mendahului peningkatan aktivitas aminotransferase serum dan gejala-gejala klinis dan tetap terdeteksi selama keseluruhan fase ikterus atau simtomatis dari hepatitis B akut atau sesudahnya. Pada kasus yang khas HBsAg tidak terdeteksi dalam 1 hingga 2 bulan setelah timbulnya ikterus dan jarang menetap lebih dari 6 bulan. Setelah HBsAg hilang, antibodi terhadap HBsAg (Anti-HBs) terdeteksi dalam serum dan tetap terdeteksi sampai waktu yang tidak terbatas sesudahnya.
Karena HBcAg terpencil dalam mantel HBsAg, maka HBcAg tidak terdeteksi secara rutin dalam serum pasien dengan infeksi VHB. Di lain pihak, antibodi terhadap HBcAg (anti-HBC) dengan cepat terdeteksi dalam serum, dimulai dalam 1 hingga 2 minggu pertama setelah timbulnya HBsAg dan mendahului terdeteksinya kadar anti-HBs dalam beberapa bulan. Karena terdapat variasi dalam waktu timbulnya anti-HBs setelah infeksi, kadang terdapat suatu tenggang waktu beberapa minggu atau lebih yang memisahkan hilangnya HBsAg dan timbulnya anti-HBs. Selama “periode jendela” (window period) ini, anti-HBc dapat menjadi bukti serologi pada infeksi VHB yang sedang berlangsung, dan darah yang mengandung anti-HBc tanpa adanya HBsAg dan anti-HBs telah terlibat pada perkembangan hepatitis B akibat transfusi.
Perbedaan antara infeksi VHB yang sekarang dengan yang terjadi di masa lalu dapat diketahui melalui penentuan kelas imunoglobulin dari anti-HBc. Anti-HBC dari kelas IgM (IgM anti-HBc) terdeteksi selama 6 bulan pertama setelah infeksi akut. Oleh karena itu, pasien yang menderita hepatitis B akut yang baru terjadi, termasuk mereka yang terdeteksi anti-HBc dalam periode jendela memilik IgM anti-HBc dalam serumnya. Pada pasien yang menderita VHB kronik, anti-HBc terutama dari kelas IgG yang terdapat dalam serum. Umumnya orang yang telah sembuh dari hepatitis B, anti-HBs dan anti-HBc nya menetap untuk waktu yang tidak terbatas.

2.2.3. Gejala Klinis3
Gejala hepatitis B amat bervariasi dari tanpa gejala sampai gejala yang berat seperti muntah darah dan koma. Pada hepatitis akut gejala amat ringan dan apabila ada gejala, maka gejala itu seperti gejala influenza. Gejala itu berupa demam ringan, mual, lemas, hilang nafsu makan, mata jadi kuning, kencing berwarna gelap, diare dan nyeri otot. Pada sebagian kecil gejala dapat menjadi berat dan terjadi fulminan hepatitis yang mengakibatkan kematian. Infeksi hepatitis B yang didapatkan pada masa perinatal dan balita biasanya asimtomatik dan dapat menjadi kronik pada 90% kasus. Sekitar 30% infeksi hepatitis B yang terjadi pada orang dewasa akan menimbulkan ikterus dan pada 0,1-0,5% dapat berkembang menjadi fulminan. Pada orang dewasa 95% kasus akan sembuh dengan sempurna yang ditandai dengan menghilangnya HBsAg dan timbul anti HBs.
Infeksi kronik ditandai oleh persistensi HBsAg dan anti HBc dan serum HBV DNA dapat terdeteksi lebih dari 6 bulan dengan menggunakan pemeriksaan non PCR. Pada hepatitis kronik B ada 3 fase yaitu fase imunotoleran, fase replikatif, dan fase integrasi. Pada fase imunotoleran akan didapatkan HBsAg serta HBeAg di dalam serum serta titer HBV DNA nya tinggi akan tetapi ALT normal. Pada fase ini gejala bisa timbul dan terjadi peningkatan aminotransferase yang nantinya akan diikuti dengan terdapatnya anti-HBe (serokonversi). Pada fase non replikatif akan ditemukan HBV DNA yang rendah dan anti-HBe positif. Fase non replikatif ini sering pula disebut dengan keadaan pengidap tidak aktif dan dapat pula terjadi pada keadaan ini resolusi hepatitis B sehingga HBsAg tidak terdeteksi lagi. Pada beberapa pasien dapat pula ditemukan serokonversi HBeAg yang diakibatkan oleh karena mutasi dari virus. Pada kelompok pasien ini mungkin pula akan ditemukan peningkatan kadar HBV DNA yang disertai pula peninggian ALT.
Apabila seorang terinfeksi hepatitis B pada usia yang lebih lanjut biasanya gejala peradangannya singkat dan gejala penyakit tidak berat. Pada fase nonreplikatif masih dapat ditemukan replikasi virus hepatitis B akan tetapi sangat sedikit sekali karena ditekan oleh respons imun penderita. Sebagian pasien dengan antigen negative dapat menjadi aktif kembali akan tetapi dengan e antigen tetap negatif. Jadi karena itu terdapat 2 jenis hepatitis kronik B yaitu hepatitis B kronik dengan HBeAg positif dan hepatitis B kronik dengan HBeAg negative. Pasien yang mengalami infeksi perinatal dapat pula menjadi hepatitis kronik dengan HBeAg yang positif disertai dengan peningkatan ALT akan tetapi sesudah waktu yang cukup lama (10-20/tahun).
Serokonvesi HBeAg biasanya akan diikuti membaiknya keadaan biokimiawi dan histology. Serokonveri e antigen menjadi e antibody dapat terjadi pada 50-70% pasien yang mengalami peninggian ALT dalam waktu 5-10 tahun setelah terdiagnosis. Biasanya hal ini akan terjadi pada orang dengan usia yang lebih lanjut, dan perempuan dan ALT nya tinggi.
Pada umumnya apabila terjadi serokonversi, maka gejala hepatitisnya juga menjadi tidak aktif walaupun pada sebagian kecil masih ada gangguan biokimiawi dan aktivitas histology serta peningkatan kadar HBV DNA. Infeksi HBsAg inaktif ditandai oleh HBsAg-positif, anti HBe dan tidak terdeteksinya HBV DNA serta ALT normal. Meskipun demikian kadang-kadang masih didapatkan sedikit tanda peradangan pada pemeriksaan patologi anatomic. Apabila serokonversi terjadi sesudah waktunya cukup lama dapat pula ditemukan gejala kelainan pada sediaan patologi anatomik.

2.2.4. Diagnosis3
Diagnosis hepatitis B ditegakkan dengan pemeriksaan biokimia dan serologic dan apabila diperlukan dengan pemeriksaan histopatologik. Pada hepatitis B akut akan ditemukan peningkatan ALT yang lebih besar dibandingkan dengan peningkatan AST dengan kadar ALT nya 20-50 kali normal. Ditemukan pula IgM anti HBc di dalam darah selain HBsAg, HBeAg dan HBV DNA.
Pada hepatitis kronik peninggian ALT adalah sekitar 10-20 Batas Atas Nilai Normal (BANN) dengan ratio de Ritis (ALT/AST) sekitar 1 atau lebih. Disamping itu IgM anti-HBc juga negative.
Diagnosis hepatitis B kronik dipastikan dengan pemeriksaan patologi anatomik, disamping mungkin pula dengan pemeriksaan fibrotest. Pencitraan dengan USG atau CT scan dapat membantu bila proses sudah lanjut.

2.2.5. Laboratorium
(dikutip dari Current Medical Diagnose and Treatment)
Pada hepatitis B akut simptomatik pola serologisnya, HbsAg mulai timbul pada akhir masa inkubasi kira-kira 2-5 minggu sebelum ada gejala klinik dan titernya akan meningkat setelah tampak gejala klinis dan menetap selama 1-5 bulan. Selanjutnya titer HBsAg akan menurun dan hilang dengan berkurangnya gejala-gejala klinik. Menetapnya HBsAg sesudah 6 bulan menandakan proses akan menjadi kronis. Anti-HBs baru timbul pada stadium konvalesensi yaitu beberapa saat setelah menghilangnya HBsAg, sehingga terdapat masa jendela (window period) yaitu masa menghilangnya HBsAg sampai mulai timbulnya anti-HBs. Anti-HBs akan menetap lama, 90% akan menetap lebih dari 5 tahun sehingga dapat menentukan stadium penyembuhan dan imunitas penderita. Pada masa jendela, Anti-HBC merupakan pertanda yang penting dari hepatitis B akut. Anti-HBC  mula-mula terdiri dari IgM dan sedikit IgG. IgM akan menurun dan menghilang dalam 6-12 bulan sesudah sembuh, sedangkan IgG akan menetap lama dan dapat dideteksi dalam 5 tahun setelah sembuh.5
HBeAg timbul bersama-sama atau segera sesudah HBsAg. Ditemukannya HBeAg menunjukkan jumlah virus yang banyak. Jangka waktu HBeAg positif lebih singkat daripada HBsAg. Bila HBeAg masih ada lebih dari 10 minggu sesudah timbulnya gejala klinik, menunjukkan penyakit berkembang menjadi kronis. Serokonversi dari HBeAg menjadi anti-HBe merupakan prognosis yang baik yang akan diikuti dengan penyembuhan penyakitnya.5
            Pada infeksi hepatitis B asimtomatik, pemeriksaan serologis menunjukkan kadar HBsAg dan HbeAg yang rendah untuk waktu singkat, bahkan seringkali HBsAg tidak terdeteksi.  Menghilangnya HBsAg segera diikuti dengan timbulnya anti-HBs dengan titer yang tinggi dan lama dipertahakan. Anti-HBc dan anti-Hbe juga timbul tetapi tidak setinggi titer anti-HBs. Lima sampai sepulu persen yang menderita hepatitis B akut akan berlanjut menjadi hepatitis B kronis. Pada tipe ini HBsAg timbul pada akhir masa inkubasi dengan titer yang tinggi yang akan menetap dan dipertahankan lama dan dapat sampai puluhan tahun atau seumur hidup. Anti-HBs tidak akan timbul pada pengidap HBsAg, tetapi sebaliknya anti-HBc yang terdiri dari IgM dan IgG anti-HBc akan dapat dideteksi dan menetapa selama lebih dari 2 tahun.5




Tes Serologis Serum Penderita

HbsAg
IgM Anti-HAV
IgM Anti-HBc
Anti-HCV
Interpretasi Diagnostik
+
+
Hepatitis B akut
+
Hepatitis B kronik
+
+
Hepatitis A akut superimposed pada hepatitis B kronik
+
+
+
Hepatitis A and B akut
+
Hepatitis A akut
+
+
Hepatitis A and B akut (HBsAg dibawah kadar ambang untuk terdeteksi)
+
Hepatitis B akut (HBsAg below detection threshold)
+
Hepatitis C akut





(dikutip dari Harrison)

2.2.6. Penatalaksanaan3
- Evaluasi untuk terapi
Evaluasi awal pasien dengan infeksi VHB meliputi anamnesis dan pemeriksaan fisik, dengan penekanan khusus pada faktor-faktor risiko terjadinya infeksi gabungan, penggunaan alcohol, riwayat keluar ga dengan infeksi VHB, dan kanker hati.
Pemeriksaan laboratorium harus mencakup pemeriksaan fungsi hati , pemeriksaan darah lengkap. Tes replikasi VHB seperti HBsAg HBeAg/anti-HBe dan HBV DNA.
-Pemantauan
Apabila seseorang mengalami infeksi HBV, tidak selalu perlu diterapi akan tetapi cukup dilakukan saja pemantauan untuk menilai apakah perlu dilakukan intervensi dengan antiviral sewaktu. Pemantauan dilakukan apabila pada pasien didapatkan keadaan :
a. Hepatitis B kronik dengan HBeAg +, HBV DNA > 105 copies/mL, dan ALT normal. Pada pasien ini dilakukan tes SGPT setiap 3-6 bulan. Jika kadar SGPT naik > 1-2 kali Batas Atas Nilai Normal (BANN), maka ALT diperiksa setiap 1-3 bulan. Jika dalam tindak lanjut SGPT naik menjadi > 2 kali BANN selama 3-6 bulan disertai HBeAg (+) dan HBV DNA > 105 copies/mL, dapat dipertimbangkan untuk biopsy hati sebagai pertimbangan untuk memberikan terapi antiviral
b. Pada infeksi HBsAg inaktif (HBeAg, dan HBV DNA) dilakukan pemeriksaan ALT setiap 6-12  bulan. Jika ALT naik menadji > 1-2 kali BANN, periksa serum HBV DNA dan bila dapat dipastikan bukan disebabkan oleh hal yang lain maka dapat dipertimbangkan terapi antiviral.
-Terapi
·         Interferon α (IFN- α)
Pada pasien HBeAg + dengan SGPT yang lebih besart 3x dari BANN, respons angka keberhasilan terapi interferon adalah sekitar 30-40% dibandingkan 10-20% pada kontrol. Pemberian interferon 4,5 mu atau 5 mu seminggu 3x selama 4-6 bulan dapat efektif. Apabila pengobatan diberikan selama 12 bulan makan angka serokonversi HBeAg akan lebih meningkat.
Pemberian monoterapi dengan pegylated IFN- α-2a menghasilkan angka keberhasilan serokonversi HBeAg lebih tinggi dibanding IFN- α2a konvensional. Pada pasien dengan kadar SGPT pra-terapi yang lebih rendah (1,3-3x ULM) angka serokonversi HBeAg lebih rendah tetapi dapat diperbaiki dengan pemberian kortikosteroid sebelum terapi interferon. Namun demikian efek samping yang hebat pernah dilaporkan akibat penggunaan cara ini.
Bila serokonversi HBeAg ke anti HBe tercapai, maka akan menetap pada lebih dari 80% kasus.
Pasien hepatitis B kronik aktif dengan HBeAg negatif, anti HBe positif, HBV DNA positif juga memberikan respons selama terapi interferon, tetapi biasanya terjadi relaps pada akhir terapi. Pengobatan ulangan dengan IFN- α menunjukkan angka keberhasilan respons 20-40% baik pada HBeAg positif maupun negative.
Pada penelitian jangka panjang ditemukan bahwa serokonversi HBeAg, baik yang diinduksi oleh terapi interferon atau secara spontan, bermanfaat untuk kelangsungan hidup, kejadian gagal hati dan mencegah HCC.
Pengobatan interferon biasanya berhubungan dengan efek samping seperti flu-like symptoms, neutropenia, trombositopenia, yang biasanya masih dapat ditoleransi, namun kadang-kadang perlu dilakukan modifikasi dosis. Terapi interferon yang menginduksi hepatitis flare dapat menyebabkan dekompensasi pada pasieen dengan sirosis dan dapat berbahaya bagi pasien dengan dekompensasi hati. Lama terapi interferon standar adalah 4-6 bulan sedangkan pegilated interferon adalah 12 bulan.
·         Lamivudine
Lamivudine efektif untuk supresi HBV DNA, normalisasi SGPT dan perbaikan secara histologist baik pada HBeAg positif dan HBeAg negatif/HBV DNA positif. Pada pasien dengan HBeAg (+) yang diterapi selama satu tahun dengan lamivudine (100 mg per hari) menghasilkan serokonversi HBeAg dengan perbandingan kadar SGPT sebelum terapi : 64% (vs. 14% sebelum terapi) pada pasien dengan SGPT dengan 5x BANN, 26% (vs. 5% sebelum terapi) pada pasein dengan SGPT 2-5x BANN, dan hanya 5% (vs. 2% sebelum terapi) pada pasien dengan SGPT <2x BANN.
Terapi antivirus jangka panjang meningkatkan proporsi menghilangnya HBV DNA dan serokonversi HBeAg. Pada pasien dengan SGPT sebelum terapi 2x BANN, angka keberhasilan serokonversi HBeAg adalah 65% setelah 3 tahun, dan 77% setelah 5 tahun. Pada saat serokonversi HBeAg ke anti-HBe tercapai, hal tersebut bertahan pada 30-80% kasus akan tetapi dapat lebih rendah jika pengobatan post-serokonversi berlangsung kurang dari 4 bulan.

·         Pegylated interferon α-2a
Pegylated interferon α-2a adlah interferon α2a yang dipegilasi. Berbeda dengan interferon alfa pegilasi generasi terdahulu (pegylated interferon α-2a), kemajuan penting dalam teknologi pegilasi telah berhasil mengembangkan pegylated interferon α-2a dengan molekul polyethylene glycol (PEG) generasi baru yang bercabang, berberat molekul lebih besar (40KD) serta ikatan antara protein dan PEG yang kuat dan stabil (ikatan Amida). Implikasinya adalah
·         Interferon alfa berada dalam sirkulasid arah lebih lama
·         Konsentrasi obat dalam plasma tetap bertahan sepanjang interval dosis (satu minggu penuh)
·         Besarnya variasi dalam serum sangat kecil sehingga menghasilkan profil tolerabilitas yang lebih baik dibandingkan interferon α konvensional.

2.2.7. Pencegahan
            Pencegahan umum hepatitis B berupa uji tapis donor darah dengan uji diagnosis yang sensitif, sterilisasi instrumen secara adekuat-akurat. Alat dialisis digunakan secara individual, dan untuk pasien dengan HVB disediakan mesin tersendiri. Jarum disposable dibuang ke tempat khusus yang tidak tembus jarum. Pencegahan untuk tenaga medis yaitu senantiasa menggunakan sarung tangan. Dilakukan penyuluhan agar para penyalah guna obat tidak memakai jarum secara bergantian, perilaku seksual yang aman. Mencegah kontak mikrolesi, menghindari pemakaian alat yang dapat menularkan HVB (sikat gigi, sisir), dan berhati-hati dalam menangani luka terbuka. Melakukan skrining ibu hamil pada awal dan pada trimester ketiga kehamilan, terutama ibu yang berisiko tinggi terinfeksi HVB. Ibu hamil dengan HVB (+) ditangani terpadu. Segera setelah lahir, bayi diimunisasi aktif dan pasif terhada HVB. Melakukan skrining pada populasi risiko tinggi tertular HVB (lahir di daerah hiperendemis, homoseksual, heteroseksual, pasangan seks berganti-ganti, tenaga medis, pasien dialisis, keluarga dari pasien HVB kronis, dan yang berkontak seksual dengan pasien HVB). 5
            Imunisasi untuk HVB dapat aktif dan pasif. Untuk imunisasi pasif digunakan hepatitis B immuneglobulin (HBIg), dapat memberikan proteksi secara cepat untuk jangka waktu terbatas yaitu 3-6 bulan. Pada orang dewasa HBIg diberikan dalam waktu 48 jam setelah terpapar VHB. 5
PractiVaccineB_big

            Imunisasi aktif diberikan terutama kepada bayi baru lahir dalam waktu 12 jam pertama. Vaksinasi juga diberikan pada semua bayi dan anak, remaja, yang belum pernah imunisasi (catch up immunization), individu yang berisiko terpapar VHB berdasarkan profesi kerja yang bersangkutan, orang dewasa yang berisiko tertular VHB, tenaga medis dan staf lembaga cacat mental, pasien hemodialisis (imunisasi diberikan sebelum terapi dialisis dimulai), pasien yang membutuhkan transfusi atau produk darah secara rutin, pada penyalahgunaan obat, pada homoseksual dan biseksual, pekerja seks komersial, orang yang terjangkit penyakit akibat seks (STD), heteroseksual dengan pasangan berganti-ganti, kontak serumah dan kontak seksual dengan pengidap HVB, populasi dari daerah dengan isiden tinggi VHB, calon transplantasi hati. Untuk mencapai tingkat serokonversi yang tinggi dan konsentrasi anti-HBs protektif (10 mIU/ml), imunisasi diberikan 3 kali dengan jadwal 0,1,6 bulan.6

2.3. Hepatitis C
Sejak berhasil ditemukannya virus hepatitis C dengan teknik cloning molekuler di tahun 1989, sejumlah perkembangan yang bermakna telah terjadi dalam pemahaman mengenai perjalanan alamiah, diagnosis dan terapi infeksi virus hepatitis C. Dahulu kita hanya mengenal infeksi ini sebagai infeksi virus hepatitis non-A,non-B, namun saat ini telah diketahui bahwa infeksi yang hanya memiliki tanda-tanda subklinis ringan ini ternyata memiliki tingkat kronisitas dan progresifitas kearah sirosis yang tinggi.3
Infeksi virus hepatitis C (HCV) adalah suatu masalah kesehatan global. Diperkirakan sekitar 170 juta orang di dunia telah terinfeksi secara kronik oleh HCV. Prevalensi global infeksi HCV adalah 2,9%. Menurut data WHO angka prevalensi ini amat bervariasi dalam distribusi secara geografi, dengan seroprevalensi terendah di Eropa sekitar 1% hingga tertinggi 5,3% di Afrika. Angka seroprevalensi di Asia Tenggara sektiar 2,2% denagn jumlah penderita sekitar 32,3 juta orang.3
Di Indonesia prevalensi infeksi virus hepatitis C ditemukan sangat bervariasi, mengingat geografis yang sangat luas. Selain itu terdapat juga variasi hasil beberapa peneliti sehubungan dengan berbedanya kelompok yang diteliti.3
Hasil pemeriksaan pendahuluan anti-HCV pada donor darah di beberapa tempat di Indonesia menujukkan bahwa prevalensinya adalah di antara 3,1%-4%. Dengan bantuan Namru-2 dimana dimungkinkan untuk penggunaan reagen anti-HCV generasi kedua dan juga bantuan unit PUTD Palang Merah Indonesia, data donor darah di kota-kota besar menunjukkan prevalensi yang lebih kecil 0,5%-3,37% dibandingkan data sebelumnya.3
Faktor-faktor yang terkait erat dengan terjadinya infeksi HCV adalah penggunaan narkoba suntik (injection drug user, IDU) dan menerima tranfusi darah sebelum tahun 1990. Tingkat ekonomi yang rendah, perilaku seksual resiko tinggi, tingkat edukasi yang rendah (kurang dari 12 tahun), bercerai atau hidup terpisah dengan pasangan resmi. Transmisi dari ibu ke anak bisa saja terjadi tatapi lebih sering terkait dengan adanya ko-infeksi bersama HIV-1 yang alasannya belum jelas. Transmisi nosokomial berupa penularan dari pasien ke pasientelah dilaporkan terjadi pada pasien yang mejalan kolonoskopi, hemodialisa dan selama pembedahan. Akan tetapi tidak terdapat bukti tranmisi fekal-oral.1,7

2.3.1. Etiologi
HCV adalah virus hepatitis yang mengandung RNA rantai tunggal berselubung glikoprotein dengan partikel sferis, inti nukleokapsid 33 nm, yang dapat diproduksi secara langsung untuk memproduksi protein-protein virus (hal ini dikarenakan HCV merupakan virus dengan RNA rantai positif). Hanya ada satu serotipe yang dapat diidentifikasi, terdapat banyak genotipe dengan distribusi yang bervariasi di seluruh dunia, misalnya genotipe 6 banyak ditemukan di Asia Tenggara.8
            Genom HCV terdiri atas 9400 nukleotida, mengkode protein besar sekitar residu 3000 asam amino. Sepertiga bagian dari poliprotein terdiiri atas protein struktural. Protein selubung dapat menimbulkan antibodi netralisasi dan sisa dua pertiga dari poliprotein terdiri atas protein nonstruktural (dinamakan NS2, NS3, NS4A, NS4B, NS5 B) yang terlibat dalam replikasi HCV. Replikasi HCV sangat melimpah dan diperkirakan seorang penderita dapat menghasilkan 10 trilion virion perhari.1,8

2.3.2. Patogenesis
Studi mengenai mekanisme kerusakan sel-sel hati oleh HCV masih belum jelas karena terbatasnya kultur sel untuk HCV. Namun beberapa bukti menunjukkan adanya mekanisme imunologis yang menyebabkan kerusakan sel-sel hati.8
            Protein core misalnya, diperkirakan menimbulkan reaksi pelepasan radikal oksigen pada mitokondria. Selain itu, protein ini mampu berinteraksi pada mekanisme signaling dalam inti sel terutama berkaitan dengan penekanan regulasi imunologik dan apoptosis.8
            Jika masuk ke dalam darah maka HCV akan segera mencari hepatosit dan mengikat suatu reseptor permukaan yang spesifik (reseptor ini belum diidentifikasi secara jelas). Protein permukaan sel CD81 adalah suatu HCV binding protein yang memainkan peranan masuknya virus. Protein khusus virus yaitu protein E2 nenempel pada receptor site di bagian luar hepatosit. Virus dapat membuat sel hati memperlakukan RNA virus seperti miliknya sendiri. Selama proses ini virus menutup fungsi normal hepatosit atau membuat lebih banyak lagi hepatosit yang terinfeksi.4
Reaksi cytotoxic T-cell (CTL) spesifik yang kuat diperlukan untuk terjadinya eliminasi menyeluruh pada infeksi akut. Reaksi inflamasi yang dilibatkan meliputi rekrutmen sel-sel inflamasi lainnya dan menyebabkan aktivitas sel-sel stelata di ruang disse hati. Sel-sel yang khas ini sebelumnya dalam keadaan tenang (quiescent) kemudian berploriferasi menjadi aktif menjadi sel-sel miofibroblas yang dapat menghasilkan matriks kolagen sehingga terjadi fibrosis dab berperan aktif menghasilkan sitokin pro-inflamasi. Proses ini berlangsung terus-menerus sehingga dapat menimbulkan kerusakan hati lanjut dan sirosis hati.8
Sama seperti virus hepatitis lainnya, HCV dapat menyebabkan suatu hepatitis akut yang sulit dibedakan dengan hepatitis virus akut lain. Gejala hanya dilaporkan terjadi pada 15% kasus, sehingga diagnosa harus tergantung pada positifnya hasil pemeriksaan anti-HCV atau pemeriksaan HCV RNA yang biasanya terdeteksi lebih awal sebelum munculnya antibodi anti-HCV (serokonversi). Dari semua individu dengan infeksi hepatitis C akut, 75-80% akan berkembang menjadi infeksi kronik.2

2.3.3. Gejala klinis3
            Sama seperti virus hepatitis yang lain, HCV dapat menyebabkan suatu penyakit hepatitis akut yang kemungkinannya, sulit dibedakan dengan hepatitis virus akut lain. Akan tetapi gejala-gejalanya hanya dilaporkan terjadi pada 15% kasus sehingga, diagnosisnya harus tergantung pada positifnya hasil pemeriksaan anti-HCV atau pemeriksaan HCV RNA yang biasanya terdeteksi lebih awal sebelum munculnya antibody anti-HCV (serokonversi)
            Masa inkubasi hepatitis C umumnya sekitar 6-8 minggu (berkisar antara 2-26 minggu) pada beberapa pasien yang menunjukkan gejala malaise dan jaundice dialami oleh sekitar 20-40% pasien. Peningkatan kadar enzim hati (SGPT > 5-15 kali rentang normal) terjadi pada hampir semua pasien. Selama masa inkubasi ini, HCV RNA pasien bisa positif dan meningkat hingga munculnya jaundice. Selain itu juga bisa muncul gejala-gejala fatique, tidak napsu makan, mual dan nyeri abdomen kuadran kanan atas. Dari semua individu dengan hepatitis C akut, 75-80% akan berkembangmenjadi infeksi kronis.
            Infeksi HCV sangat jarang terdiagnosis pada saat infeksi fase akut. Manifestasi klinis bisa saja muncul dalam waktu 7-8 minggu (dengan kisaran 2-26 minggu) setelah terpapar dengan HCV, namun sebagian besar penderita umumnya tidak menunjukkan gejala atau kalaupun ada hanya menunjukkan gejala yang ringan. Pada kasus-kasus infeksi akut HCV yang ditemukan, gejala-gejala yang dialami biasanya jaundice, malaise, dan nausea. Infeksi berkembang menjadi kronik pada sebagian besar penderita dan infeksi kronik biasanya tidak menunjukkan gejala. Hal ini menyebabkan sangat sulitnya menilai perjalanan alamiah infeksi HCV.

2.3.4. Laboratorium
Pemeriksaan konvensional untuk mendiagnosis keberadaan antigen HCV tidak tersedia. HCV RNA petama kali muncul diikuti kenaikan enzim ALT dan diikuti dengan munculnya anti-HCV. Pemeriksaan antibodi terhadap HCV biasanya dideteksi menggunakan enzyme immunoassay generasi ke-3 yang banyak dipergunakan saat ini mengandung protein core yang dapat mendeteksi keberadaan antibodi dalam waktu 4-10 minggu infeksi. Antibodi anti-HCV masih dapat terdeteksi selama terapi maupun setelahnya. Uji immunoblot rekombinan (RIBA) dapat digunakan untuk mengkonfirmasi hasil yang positif. Pemeriksaan HCV RNA merupakan pemeriksaan yang paling spesifik dan dapat dipercaya untuk menunjukkan adanya infeksi HCV. Pemeriksaan HCV-RNA kuantitatif dan kualitatif didasarkan pada teknik PCR (Polymerase Chain Reactionn).8
(dikutip dari Buku Ajar Ilmu Penyakit Hati)

2.3.5. Diagnosa3
Tidak seperti pada hepatitis B, pemeriksaan konvesional untuk mendeteksi keberadaan antigen-antigen HCV tidaklah tersedia, sehingga pemeriksaan untuk mendiagnosis infeksi HCV bergantung pada uji serologi untuk memeriksa antibody dan pemeriksaan molekuler untuk partikel virus. Uji serologi yang berdasarkan pada deteksi antibody telah membantu mengurangi resiko infeksi terkait transfuse. Sekali seseorang pernah mengalami serokonversi, biasanya hasil pemeriksaan serologi akan tetap positif. Namun demikian, kadar antibody anti-HCV nya akan menurun secara gradual sejalan dengan waktu pada sebagian pasien yang infeksinya mengalami resolusi spontan.
-Pemeriksaan anti-HCV
Antibodi terhadap HCV biasanya dideteksi dengan metode enzyme immunoassay yang sangat sensitive dan spesifik. Enzyme immunoassay generasi ke-3 yang banyak dipergunakan saat ini mengandung protein core dan protein-protein struktural yang dapat mendeteksi keberadaan antibody dalam waktu 4-10 minggu infeksi. Antibodi anti-HCV masih tetap dapat terdeteksi selama terapi maupun setelahnya tanpa memandang respons terapi yang dialami, sehingga pemeriksaan anti-HCV tidak perlu dilakukan kembali apabila sudah pernah dilakukan sebelumnya.
Uji immunoblot rekombinan (recombinant immunoblat assay, RIBA) dapat digunakan untuk mengkonfirmasi hasil uji enzyme immunoassay yang positif. Penggunaan RIBA untuk mengkonfirmasi hasil hanya direkomendasikan untuk setting populasi low-risk seperti pada bank darah. Namun dengan tersedianya metode enzyme immunoassay yang sudah diperbaiki dan uji deteksi RNA yang lebih baik saat ini, maka konfirmasi dengan RIBA telah menjadi kurang diperlukan.

2.3.6. Penatalaksanaan1
Pengobatan Hepatitis C sedini mungkin sangatlah penting. Meskipun tubuh telah melakukan perlawanan terhadap infeksi, tetapi hanya 20% yang berhasil, pengobatan tetap diperlukan untuk mencegah Hepatitis C kronis dan membantu mengurangi kemungkinan hati menjadi rusak.
Senyawa-senyawa yang digunakan dalam pengobatan Hepatitis C adalah:
1.      Interferon alfa
Adalah suatu protein yang dibuat secara alami oleh tubuh manusia untuk meningkatkan sistem daya tahan tubuh/imunitas dan mengatur fungsi sel lainnya. Obat yang direkomendasikan untuk penyakit Hepatitis C kronis adalah dari inteferon alfa bisa dalam bentuk alami ataupun sintetisnya.
2.      Pegylated interferon alfa
peg_chainDibuat dengan menggabungkan molekul yang larut air yang disebut "polyethylene glycol (PEG)" dengan molekul interferon alfa. Modifikasi interferon alfa ini lebih lama ada dalam tubuh, dan penelitian menunjukkan lebih efektif dalam membuat respon bertahan terhadap virus dari pasien Hepatitis C kronis dibandingkan interferon alfa biasa.
Ada dua macam pegylated interferon alfa yang tersedia:
·   Peginterferon alfa-2a
·   Peginterferon alfa-2b.
Meskipun kedua senyawa ini efektif dalam pengobatan Hepatitis C kronis, ada perbedaan dalam ukurannya, tipe pegylasi, waktu paruh, rute penbersihan dari tubuh dan dosis dari kedua pegylated interferon. Karena metode pegylasi dan tipe molekul PEG yang digunakan dalam proses dapat mempengaruhi kerja obat dan pembersihannya dalam tubuh.
Perbedaan besar antar dua pegylated interferon adalah dosisnya. Dosis dari pegylated interferon alfa-2a adalah sama untuk semua pasien, tidak mempertimbangkan berat dan ukuran pasien. Sedangkan dosis pegylated interferon alfa-2b disesuaikan dengan berat tubuh pasien secara individu.
3.      Ribavirin
Adalah obat anti virus yang digunakan bersama interferon alfa untuk pengobatan Hepatitis C kronis. Ribavirin kalau dipakai tunggal tidak efektif melawan virus Hepatitis C, tetapi dengan kombinasi interferon alfa, lebih efektif daripada inteferon alfa sendiri.
Efek samping penggunaan interferon adalah demam dan gejala-gejala menyerupai flu (nyeri otot, malaise, tidak napsu makan dan sejenisnya), depresi dan gangguan emosi, kerontokan rambut lebih dari normal, depresi sumsum tulang, hiperuresemia, kadang-kadang timbul tiroiditis. Ribavirin dapat menyebabkan penurunan Hb. Untuk mengatasi efek samping tersebut, pemantauan pasien mutlak perlu dilakukan.
Indikasi terapi
Didapatkan peningkatan nilai ALT lebih dari batas atas nilai normal. Pada pasien yang tidak terjadi fibrosis hati atau hanya fibrosis hati ringan tidak perlu diberikan terapi karena mereka biasanya tidak berkembang menjadi sirosis hati setelah 20 tahun menderita infeksi VHC.
Pengobatan pada hepatitis C
·         Akut, keberhasilan terapi dengan interferon lebih baik dari pada pasien Hepatitis C kronik hingga mencapai 100%. Interferon dapat digunakan secara monoterepi tanpa ribavirin dan lama terapi hanya 3 bulan. Namun sulit untuk menentukan menentukan infeksi akut VHC karena tidak adanya gejala akibat virus ini sehingga umumnya tidak diketahui waktu yang pasti adanya infeksi.
·         Kronik adalah dengan menggunakan interferon alfa dan ribavirin. Umumnya disepakati bila genotif  I dan IV, maka terapi diberikan 48 minggu dan bila genotip II dan III, terapi cukup diberikan 24 minggu.

Kontraindikasi terapi
Adalah berkaitan berkaitan dengan penggunaan interferon dan ribavirin, yaitu:
-      Pasien yang berusia lebih dari 60 tahun
-      Hb<10g/dL, leukosit darah <2500/uL, trombosit <100.000/uL
-      Adanya gangguan jiwa yang berat
-      Adanya hipertiroid
-      Pasien dengan gangguan ginjal

Untuk interferon alfa yang konvensional, diberikan setiap 2 hari atau 3 kali seminggu dengan dosis 3 juta unit subkutan setiap kali pemberian. Interferon yang telah diikat dengan poly-ethylen glycol (PEG) atau dikenal dengan Peg-Interferon, diberikan setiap minggu dengan dosis 1,5 ug/kgBB/kali ( untuk Peg-Interferon 12 KD ) atau 180 ug ( untuk Peg-Interferon 40 KD ).
Pemberian interferon diikuti dengan pemberian ribavirin dengan dosis pada pasien dengan berat badan <50 kg 800 mg setiap hari, 50-70 kg 1000 mg setiap hari dan >70 kg 1200 mg setiap hari dibagi dalam 2 kali pemberian.
Pada akhir terapi dengan interferon dan ribavirin perlu dilakukan pemeriksaan RNA VHC secara kualitatif untuk mengetahui apakah VHC resisten. Keberhasilan terapi dinilai 6 bulan setelah pengobatan dilakukan dengan memeriksa RNA VHC kualitatif. Bila :
-      RNA VHC tetap (-) : pasien dianggap mempunyai respon virulogik yang menetap (sustained virulogical response atau SVR)
-      RNA VHC kembali (+) : pasien dianggap relapser
Pasien yang tergolong kambuh dapat kembali diberikan interferon dan ribavirin nantinya dengan dosis yang lebih besar atau bila sebelumnya menggunakan interferon konvensional, Peg-Interferon mungkin akan bermanfaat.
Pada ko-infeksi HCV-HIV, terapi dengan interferon dan ribavirin dapat diberikan bila jumlah CD4 pasien ini > 200 sel/mL. Bila CD4 kurang dari nilai tersebut, respon terapi sangat kurang memuaskan.
Untuk pasien dengan ko-infeksi VHC-VHB, dosis pemberian interferon untuk VHC sudah sekaligus mencukupi untuk terapi VHB sehingga kedua virus dapat diterapi bersama-sama sehingga tidak diperlukan nukleosida analog yang khusus untuk VHB.
2.3.7. Pencegahan
Tidak ada vaksin yang dapat melawan infeksi HVC. Usaha-usaha yang harus dilakukan untuk mencegah terjadinya infeksi yaitu melakukan skriningdan pemeriksaan terhadap darah dan organ donor, mengiaktivasi virus dari plasma dan produk-produk plasma, mengimplementasikan tindakan-tindakan untuk mengontrol infeksi dalam setting pekerja kesehatan, termasuk prosedur sterilisasi yang benar terhada alat medis dan dentis, dan mempromosikan perubahan tingkah laku pada masyarakat umum dan pekerja kesehatan unutk mengurangi penggunaan berlebihan obat-obat suntik dan penggunan cara penyuntikan yang aman, serta konseling untuk menurunkan risiko pada IDU dan praktek seksual.6

2.4. Hepatitis D
            Definisi hepatitis secara umum adalah proses inflamasi pada hati. Hepatitis dapat disebabkan oleh virus hepatitis. Pada saat ini setidaknya sudah dapat diidentifikasi beberapa jenis virus hepatitis. Sesuai dengan urutan saat diidentifikasi, virus-virus tersebut diberi sebutan sebagai virus hepatitis A,B,C,D, dan E. Semua virus hepatitis diidentifikasi berdasarkan pada hasil pemeriksaan serologi. Pada tahun 1997, ditemukan antigen inti virus yang sebelumnya belum pernah diidentifikasi pada hepatosit pasien hepatitis kronik B. Antigen tersebut ternyata hanya dijumpai bila bersama dengan infeksi virus hepatitis B, tetapi sangat jarang bersama HBcAg. Selanjutnya antigen tersebut disebut antigen delta. Seperti banyak antigen virus yang lain, antigen delta juga dapat memacu pembentukkan antibodi anti-Delta. Pada tahun 1986, cloning dan sequencing VHD berhasil dilakukan. Dapat dibuktikan bahwa antigen delta merupakan komponen virus yang unik bila dibandingkan dengan virus hepatitis yang lain. Virus ini bersifat defektif, untuk melakukan replikasi, membentuk virus baru, ia harus berada bersama dengan HBsAg. Disebut hepatitis delta bila dapat dibuktikan bahwa penyakit tersebut disebabkan oleh virus hepatitis delta (VHD).3
Infeksi HDV hanya terjadi pada individu dengan resiko infeksi HBV (koinfeksi atau superinfeksi). Tranmisi virus ini mirip dengan HBV yaitu melalui darah, permukosal, perkutan parenteral, seksual dan perinatal walaupun jarang. Pada saat terjadi superinfeksi, titer VHD serum akan mencapai puncak, sekitar 2-5 minggu setelah inokulasi, dan akan menurun setelah 1-2 minggu kemudian. Hepatitis virus D endemis di Mediterania, Semenanjung Balan dan bagian Eropa bekas Rusia.(UI, Centers dor disease control and prevention.6

2.4.1. Etiologi
Virus Delta bila dilihat dari pandangan virology binatang memang merupakan virus unik. Virus ini termasuk virus RNA yang sangat kecil. Virion VHD hanya berukuran kira-kira 36 nm tersusun atas genom RNA single stranded dan kira-kira 60 kopi antigen delta yang merupakan satu-satunya jenis protein di kode oleh VHD. Antigen Delta terdiri dari 2 jenis yakni large (L) dan small (S) Virion VHD mempunyai kapsul terdiri atas protein yang dihasilkan oleh VHB. Dinding luar tersebut terdiri atas lipid dan seluruh komponen HBsAg. Komponen HBsAg yang mendominasi adalah small HBsAg kira-kira sebanyak 95%. Proporsi seperti ini sangat berbeda dengan proporsi yang terdapat pada VHB. Selain menjadi komponen utama dinding VHD, HBsAg juga diperlukan VHD untuk transmisi dan masuk ke hepatosit. HBsAg akan melindungi virion VHD tetapi secara langsung tidak mempengaruhi replikasi VHD.3

2.4.2. Patogenesis
Mekanisme kerusakan sel-sel hati akibat infeksi VHD belum jelas benar. Masih diragukan, bahwa VHD mempunyai kemampuan sitopatik langsung terhadap hepatosit. Replikasi genom VHD justru dapat menghalangi pertumuhan sel, karena replikasu VHD memerlukan enzim yang diambil dari sel inang. Diduga kerusakan hepatosit pada hepatitis D akut terjadi akibat jumlah HDAg-S yang berlebihan di dalam hepatosit. VHB juga berperan penting sebagai kofaktor yang dapat menimbulkan kerusakan hepatosit yang lebih lanjut.2


2.4.3. Laboratorium
Infeksi VHD hanya terjadi bila bersama-sama dengan infeksi VHB. Pada masa inkubasi (koinfeksi HVB-HVD), dapat dijumpai HBsAg, HBeAg, dan DNA HVB, IgM anti HVD, RNA HVD, HDAg, anti HBc akan terdeteksi bila penyakit berlanjut, anti-HVD terdeteksi pada akhir masa akut dan kemudian akan menurun titernya setelah penyakit membaik dan semua petanda replikasi virus baik B maupun D akan menghilang pada masa penyembuhan. Sedangkan IgG maupun IgM anti-HVD dapat bertahan sampai beberapa bulan bahkan beberapa tahun setelah sembuh. Superinfeksi VHD-HVB, memberikan tanda : didapatkan tanda viremia HVD yakni RNA VHD dan HVDAg selama fase preakut, dan selama fase akut didapatkan IgM anti-HVD dan IgG anti-HVD dalam titer tinggi dan keduanya dapat bertahan seterusnya pada infeksi persisten. 2
(dikutip dari CDC)
2.4.4. Gejala klinis
            Infeksi VHD hanya terjadi bila bersama-sama denagn infeksi VHB. Gambaran klinis secara umum dapat dibagi menjadi: koinfeksi, superinfeksi dan laten. Disebut koinfeksi bila infeksi VHD terjadi bersama-sama secara simultan dengan VHB, sedangkan superinfeksi bila infeksi VHD terjadi pada pasien infeksi kronik VHB. Koinfeksi akan dapat menimbulkan baik hepatitis akut B maupun hepatitis akut D. Sebagian besar koinfeksi VHB dan VHD akan sembuh spontan. Kemungkinan menjadi hepatitis kronik D kurang dari 5%. Masa inkubasi hepatitis akut D sekitar 3-7 minggu. Keluhan pada masa preikterik biasanya merasa lemah, tak suka makan, mual, keluhan-keluhan seperti flu. Fase ikterus ditandai dengan feses pucat, urine berwarna gelap dan bilirubin serum meningkat. Keluhan kelemahan umum dan mual dapat bertahan lama bahkan pada fase penyembuhan. Superinfeksi VHD pada hepatitis kronik B biasanya akan menimbulkan hepatitis akut berat, dengan masa inkubasi pendek, dan kira-kira 80%  pasien akan berlanjut menjadi hepatitis kronik D. Hepatitis kronik D akibat superinfeksi biasanya berat, progresif, dan sering berlanjut menjadi sirosis hati.3

2.4.5. Diagnosis9
Diagnosis secara serologis:
- Infeksi melalui darah.
-      Pasien HBsAg positif dengan:
o   Anti HDV dan atau anti HDV RNA sirkulasi (pemeriksaan belum mendapat persetujuan)
o   IgM anti HDV dapat muncul sementara.
-          Koinfeksi HBV/HDV
o   HBsAg positif
o   IgM anti HBc positif
o   Anti HDV dan atau HDV RNA
-          Superinfeksi
o   HBsAg positif
o   IgG anti HBc positif
o   Anti HDV dan atau HDV RNA
-          Titer anti HDV akan menurun sampai tak terdeteksi dengan adanya perbaikan infeksi.

2.4.6. Penatalaksanaan9
Infeksi yang sembuh spontan
1.      Rawat jalan, kecuali pasien dengan mual atau anoreksia berat yang akan menyebabkan dehidrasi.
2.      Mempertahankan asupan kalori dan cairan yang adekuat
-          Tidak ada rekomendasi diet khusus
-          Makan pagi dengan porsi yang cukup besar merupakan makanan yang paling baik ditoleransi.
-          Menghindari konsumsi alcohol selama fase akut
3.      Aktivitas fisik yang berlebihan dan berkepanjangan harus dihindari
4.      Pembatasan aktivitas sehari-hari tergantung dari derajat kelelahan dan malaise.
5.      Tidak ada pengobatan spesifik untuk hepatitis D. Kortikosteroid tidak bermanfaat.
6.      Obat-obat tidak perlu harus dihentikan.

2.4.7. Pencegahan
Pencegahan terhadap HVD hanya efektif terhadap mereka yang masih mungkin dicegah dari infeksi HVB, artinya yang dapat dicegah hanya koinfeksi HVD dan HVB, sedangkan untuk mencegah superinfeksi hingga saat ini belum ditemukan cara yang efektif. Saat ini masih dilakukan penelitian terhadap vaksinasi dengan HDAg-S.6

2.5. Hepatitis E
            HEV RNA terdapat dalam serum dan tinja selama fase akut. Hepatitis sporadik sering terjadi pada anak dan dewasa muda di negara sedang berkembang. Penyakit ini epidemi dengan sumber penularan melalui air. Pernah dilaporkan adanya tranmisi maternal-neonatal dan di negara maju sering berasal dari orang yang kembali pulang setelah melakukan perjalanan, atau imigran baru dari daerah endemik. Viremia yang memanjang atau pengeluaran di tinja merupakan kondisi yang tidak sering dijumpai. Penyebaran virus ini diduga disebarkan juga oleh unggas, babi, binatang buas dan binatang peliharaan yang mengidap virus ini. Kekebalan sepanjang hidup terjadi setelah fase pemulihan.1,6

2.5.1. Etiologi
HEV merupakan virus RNA dengan diameter 27-34 mm. Pada manusia hanya terdiri atas satu serotipe dengan empat sampai lima genotipe utama. Genome RNA dengan tiga overlap ORF (open reading frame) mengkode protein struktural dan protein non-struktural  yang terlibat pada replikasi HEV. Virus dapat menyebar pada sel embrio diploid paru akan tetapi replikasi hanya terjadi pada hepatosit.1


2.5.2. Patogenesis
            Pada keadaan biasa, tak satupun virus hepatitis bersifat sitopatik langsung terhadap hepatosit, tetapi merupakan respon imunologik dari host. Lesi morfologik dari semua tipe hepatitis sama, terdiri dari infiltrasi sel PMN pan lobuler, terjadi nekrosis sel hati, hiperplasia dari sel-sel kupffer dan membentuk derajat kolestasis yang berbeda-beda. Regenerasi sek hati terjadi, dibuktikan dengan adanya gambaran mitotik, sel-sel multinuklear dan pembentukan rosette atau pseudoasinar. Infiltrasi mononuklear terjadi terutama oleh limfosit kecil, walaupun sel plasma dan sel eosinofil juga sering tampak. Kerusakan sel hati terdiri dari degenerasi dan nekrosis sel hati, sel dropout, ballooning dan degenerasi asidofilik dari hepatosit. Masih belum jelas peranan antibodi IgM dan lama waktu antibodi IgG yang terdeteksi dalam kaitannya dengan imunitas.2

2.5.3. Gejala klinis
Pada infeksi yang sembuh spontan:
1.      spectrum penyakit mulai dari asimtomatik, infeksi yang tidak nyata sampai kondisi yang fatal sehingga terjadi gagal hati akut.
2.      Sindrom klinis mirip pada semua virus penyebab mulai dari gejala prodromal yang tidak spesifik dan gejala gastrointestinal, seperti: malaise, anoreksia, mual dan muntah. Gejala flu, faringitis, batuk, sakit kepala dan myalgia.
3.      Gejala awal cenderung muncul mendadak pada HAV dan HEV
4.      Demam jarang ditemukan, kecuali pada infeksi HAV.
5.      Gejala prodromal menghilang pada saat timbul kuning, tetapi gejala anoreksia, malaise, dan kelemahan dapat menetap.
6.      Icterus didahului dengan kemunculan urin berwarna gelap, pruritus (biasanya ringan dan sementara) dapat timbul ketika icterus meningkat.
7.      Pemeriksaan fisik menunjukan pembesaran dan sedikit nyeri tekan pada hati.
8.      Splenomegali ringan dan limfadenopati pada 15%-20% pasien.




2.5.4. Diagnosis dengan Serologi

Diagnosis hepatitis E pada pemeriksaan serologis dengan metode ELISA seperti anti-HEV, IgG dan IgM anti-HEV dan PCR serum dan kotoran untuk mendeteksi HEV-RNA serta immunofluorescent terhadap antigen HEV di serum dan sel hati.2


(dikutip dari Buku Ajar Ilmu Penyakit Hati)

2.5.5. Pencegahan
Kemunculan IgG anti HEV pada kontak dengan pasien hepatitis E dapat bersifat proteksi, akan tetapi efektifitas dari immunoglobulin yang mengandung anti HEV masih belum jelas. Pengembangan immunoglobulin titer tinggi sedang dilakukan. Vaksin HEV sedang dalam penelitian klinis pada daerah endemik.6
2.6 PEMERIKSAAN FISIK
Kelainan pada pemeriksaan fisik baru terlihat saat fase ikterik. Tampak ikterus pada kulit maupun di selaput lendir. Selaput lendir yang mudah dilihat ialah di sklera mata, palatum molle, dan frenulum lingua. Pada umumnya tidak ada mulut yang berbau (foeter hepatikum) kecuali pada penderita hepatitis yang berat misalnya pada hepatitis fulminan. Sangat jarang ditemukan spider nevi, eritema palmaris, dan kelainan pada kuku (liver nail), jika ditemukan pada fase ikterik tanda tersebut akan menghilang pada fase konvalesen. Hati teraba sedikit membesar (sekitar 2-3 cm dibawah arkus koste dan dibawah tulang rawan iga) dengan konsistensi lembek, tepi yang tajam dan sedikit nyeri tekan terdapat pada + 70% penderita. Ditemukan fist percussion positif (dengan memukulkan kepala tangan kanan pelan-pelan pada telapak tangan kiri yang diletakkan pada arkus kostarum kanan penderita dan penderita merasakan nyeri). Kadang-kadang ditemukan adenopati servikal pada 10-20 % penderita dan teraba limpa yang lembek sekitar + 20% atau terisinya ruang Traube pada + 30% penderita. Tidak ditemukan ascites. Tidak banyak ditemukan kelainan pada kulit, kecuali pada pasien yang mengalami urtikaria yang umumnya bersifat sementara.2
Penyembuhan sempurna klinis dan biokimia diperkirakan sekitar 1-2 minggu setelah kasus hepatitis A dan E dan 3-4 bulan setelah ikterus pada kasus yang tidak mengalami komplikasi. Pada orang dewasa sehat hepatitis B akut yang self-limited sekitar 95–99%, sedangkan hepatitis C akut yang self-limited hanya sekitar 15%.2
2.7 PEMERIKSAAN LABORATORIUM
Urin
Kelainan pertama yang terlihat yaitu adanya bilirubin dalam urin bahkan dapat terlihat sebelum ikterus timbul. Juga bilirubinuria timbul sebelum kenaikan bilirubin dalam serum dan kemudian menghilang dalam urin, walaupun bilirubin serum masih positif. Urobilinogen dalam urin dapat timbul pada akhir fase preikterus. Pada waktu ikterus sedang menaik, terdapat sangat sedikit bilirubin dalam intestin, sehingga urobilinogen menghilang dalam urin.10
jaundi25


Tinja
Pada waktu permulaan timbulnya ikterus, warna tinja sangat pucat. Analisis tinja menunjukkan kembali normal, berarti ada proses ke arah penyembuhan.10

Darah
Yang penting ialah perlu diamati serum bilirubin, SGOT, SGPT, dan asam empedu, seminggu sekali selama diawat di RS. Pada masa preikterik hanya ditemukan kenaikan dari bilirubin terkonjugasi (bilirubin direk), walaupun bilirubin total masih dalam batas normal.10
Pada minggu pertama dari fase ikterik, terdapat kenaikan kadar serum bilirubin total (baik yang terkonjugasi maupun yang tidak terkonjugasi). Kenaikan kadar bilirubin bervariasi antara 6-12 mg%, tergantung dari berat ringannya penyakit. Kenaikan bilirubin total terus meningkat selama 7-10 hari. Umumnya kadar bilirubin mulai menurun setelah minggu kedua dan fase ikterik, dan mencapai batas normal pada masa penyembuhan.10
Serum transaminase yang perlu diamati adalah SGOT dan SGPT. Pada fase akut yaitu pada permulaan fase ikterik terdapat kenaikan yang menyolok dari SGOT dan SGPT, kenaikannya sampai sepuluh kali nilai normal, dan pada keadaan berat dapat seratus kalinya. Pada minggu kedua dari fase ikterik mulai terdapat penurunan 50% dari serum transaminase tetapi pada fase penyembuhan nilainya belum mencapai nilai normal. Nilai normal baru dicapai sekitar 2-3 bulan setelah timbulnya penyakit. Oleh karena itu serum transaminase digunakan untuk memantau perkembangan penyakit penderita, dan sebaiknya diperiksa 1-2 bulan sekali selama berobat jalan. Bila hasilnya setelah 6 bulan tetap meninggi maka perlu dipikikan kemungkinan menjadi kronis. Pemeriksaan enzim menggunakan rasio dari De Ritis amat bermanfaat untuk membedakan jenis kerusakan hati. Pada hepatitis akut rasio SGOT/SGPT adalah 0,4-0,8, sedangkan pada hepatitis kronis rasio SGOT/SGPT adalah sekitar 1 atau lebih.10
Kadar laboratoris lainnya yaitu terdapat sedikit kenaikan fosfatase alkali, yang bersifat sementara yaitu pada fase akut, untuk selanjutnya kembali pada batas normal. Bila ditemukan tetap meninggi, maka perlu dipikirkan adanya kolestasis. Pada umumnya kadar serum protein masih dalam batas-batas normal. Bila terjadi perubahan serum protein yaitu mulai tampak menurunnya albumin dan menaiknya globulin berarti penyakitnya menjadi kronis. Selain daripada itu waktu protrombin dapat digunakan untuk memantau perkembangan hepatitis virus akut, yang biasanya memiliki nilai normal atau sedikit menaik. Bila hasil waktu protrommbin tetap sangat memanjang walaupun telah diberikan suntikan vitamin K tidak akan kembali normal berarti telah menjadi hepatitis fulminan.10
Kelainan darah perifer yang ditemuakan pada fase preikterik yaitu terlihat leukopeni, limfopeni, dan netropeni, merupakan gambaran umum infeksi virus. Disamping itu terlihat LED menaik, kemudian pada fase ikterik kembali normal, dan terdapat kenaikan lagi bilamana ikterusnya berkurang, yang kembali normal lagi pada fase penyembuhan yang sempurna.10
Untuk menentukan penyebab hepatitis virus akut tidak dapat dilihat gejala klinis dan kelainan laboratorium tersebut di atas. Dan satu-satunya ialah perlu sekali ditentukan pertanda serologis.10

2.8. PROGNOSIS HEPATITIS2

Prognosis hepatitis A baik dan pasien dapat sembuh sempurna. Kurang dari 0,4% dari kasus yang dilaporkan di AS bersifat fatal. Angka kematian akibat hepatitis fulminan berkisar antara 0,1%-0,2% (Krugman, 1992). Kematian dikaitkan dengan umur penderita arau apabila ada penyakit hepatitis kronik lain terutama hepatitis kronik C. Pada hepatitis B akut, sekitar 95–99% pasien akan sembuh sempurna. Pasien yang lanjut usia dan disertai dengan kelainan medis lain dapat mengalami penyakit yang berkelanjutan dan dapat menderita hepatitis berat. Prognosis buruk tampak jika pada penderita ditemukan asites, edema perifer, dan ensefelopati hepatik. Tambahan lainnya, Waktu protrombin yang memanjang, kadar albumin serum yang rendah, hipoglikemia, dan tingginya kadar bilirubin serum mengnandakan penyakit hepatoseluler yang berat. Pasien dengan tanda klinis dan hasil laboratorium seperti ini perlu mendapatkan tindakan medis yang segera. Angka kematian pada hepatitis A dan B sangat rendah ( sekitar 0.1%) tapi meningkat sebanding dengan peningkatan usia dan penyakit medis lain yang menyertai. Pada pasien dengan hepatitis B yang dirawat di rumah sakit, angka kematiannya 1%. Hepatitis C pada fase akut tampak lebih ringan dibandingkan dengan hepatitis B dan lebih sering anikterik. Kematian jarang terjadi, meskipuin prosentase tingkat kematian tidak diketahui secara pasti. Pada wabah hepatitis A karena pencemaran air di India dan Asia, angka kematian sekitar  1–2% dan meningkat menjadi 10–20% pada wanita hamil. Pasien yang terinfeksi hepatitis B akut dan hepatitis D menurut penelitian tidak memiliki angka kematian yang lebih tinggi dibandingkan pasien yang hanya terinfeksi hepatitis B akut saja; namun pada wabah yang terjadi diantara pengguna narkoba suntikan (IDU), dimana terjadi infeksi HBV dan HDV secara simultan, angka kematian telah meningkat menjadi sekitar 5%. Pada pasien hepatitis B kronis dengan superinfeksi HDV, terjadi peningkatan pada kemungkinan terjadinya hepatitis fulminan dan kematian. Meskipun angka kematian hepatitis D secara pasti belum diketahui, pada karier hepatitis B, superinfeksi HVD telah meningkatkan angka kematian lebih dari 20%.




















BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Hepatitis virus adalah suatu proses peradangan difus pada hati yang disebabkan oleh virus hepatitis. Hingga saat ini telah dikenal 5 tipe virus penyebab hepatitis yaitu VHA, VHB, VHC, VHD, VHE. Selain itu baru-baru ini ditemukan infeksi hati yang disebabkan oleh VHF dan VHG.
Berdasarkan waktunya, hepatitis virus dapat dibagi menjadi hepatitis akut dan kronis. Pada beberapa kasus, hepatitis akut dapat berkembang menjadi kronis, dan sebaliknya hepatitis kronis dapat sembuh sendiri. Pada umumnya hepatitis kronis merupakan kondisi yang serius, namun gejala pada pasien dapat bermacam-macam tergantung derajat penyakitnya.
Gejala hepatitis virus dimulai dengan gejala prodromal yang bersifat sistemik, dapat berupa anoreksia, mual, muntah, lemah, lesu nyeri sendi, nyeri otot, sakit kepala, fotofobia, faringitis, batuk, serta demam. Sebelum timbul gejala jaundice dapat ditemukan urin yang berwarna gelap dan feses berwarna dempul. Dengan munculnya gejala jaundice, gejala prodromal biasanya berkurang. Dapat ditemukan pembesaran hepar lunak dan nyeri pada kuadran kanan atas. Dapat juga ditemukan pasien dengan gejala kolestatik dan splenomegali. Memasuki fase penyembuhan, gejala prodromal menghilang namun pembesaran hepar dan kelainan biokimia pada hepar masih ada.
Penatalaksanan pada hepatitis virus lebih bersifat suportif, yakni dengan tirah baring dan pengaturan diet makanan. Dapat juga diberikan obat-obatan untuk mengurangi keluhan simtomatis. Pada kasus yang tidak berkomplikasi, penyembuhan dimulai satu atau dua minggu setelah awitan ikterus dan berlangsung hingga 6 minggu. Namun pada beberapa kasus, dapat berkembang menjadi hepatitis kronis. Komplikasi yang paling ditakuti dari hepatitis kronis adalah sirosis hepatis dan karsinoma hati primer.

DAFTAR PUSTAKA

1.      Sanityoso, A. Hepatitis Virus Akut. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I Edisi V. Jakarta. Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2009.
2.      Dienstag J.L., Isselbacher K.J.,Acute Viral Hepatitis. In: Eugene Braunwauld et al. Harrison’s Principles of Internal Medicine, 17th Edition,McGraw Hill, 2008.
3.      Noer, Sjaifoellah H.M., Sundoro, Julitasari. Buku Ajar Ilmu Penyakit Hati Edisi Pertama. Editor : H. Ali Sulaiman. Jakarta: Jayabadi. 2007.
4.      Martin A and Lemon SM, Hepatitis A virus. From discovery to Vaccines. Hepatology: 2006 Vol 45 No.2 Suppl 1, S164-S172.
5.      Pyrsopoulos N, Hepatitis B, [dikutip 7Februari2012], URL : http;//www. emedicine.com/ped/topic982.htm
6.      Epidemiology and prevention of viral hepatitis A to E:anoverview 2001; http;//www.cdc.gov/ndod/disease/hepatitis/Slideset/index.htm)
7.      Foster GR, Goldin RD. Management of Chronic Hepatitis, 2nd ed., Oxfordshire: Taylor&Francis,2005:17-61.
8.      Lauer GM, Walker BD. Hepatitis C virus infection. N Engl J Med 2001; 345(1):41-52.
9.      Lacey SR, Bernstein DR, Talavera F, et al. Hepatitis D. eMedicine specialties. 2005.
10.  Hadi, S. Hepatitis. Gastroenterologi edisi VII. Bandung. PT Alumni; 2002: 487-57


Anda baru saja membaca artikel yang berkategori dengan judul Hepatitis. Anda bisa bookmark halaman ini dengan URL https://theherijournals.blogspot.com/2013/02/hepatitis.html. Terima kasih!
Ditulis oleh: Unknown - 2/09/2013

1 Komentar untuk "Hepatitis"

Silahkan tinggalkan komentar anda disini :)

Entri Populer

Blog Teman

Komentar Kita