Paper
PATOFISIOLOGI
DAN FAKTOR RISIKO
NEURALGIA
PASCA HERPETIKA
Oleh:
Heri
Wahyudi, S.Ked (0702005065)
Sabrina Selvarasan, S.Ked (0802005186)
Dosen Pembimbing :
dr. Eka Widyadharma, M.Sc, Sp.S
DALAM RANGKA MENJALANI KEPANITERAAN KLINIK
MADYA
DI LAB/SMF ILMU PENYAKIT SARAF FK
UNUD/RSUP SANGLAH
DESEMBER 2012
Lembar Pengesahan Presentasi
Tinjauan
Pustaka ini telah disetujui untuk dipresentasikan
Desember
2012
Pembimbing
(dr. Eka Widyadharma, M.Sc, Sp.S)
Mengetahui
Kepala Bagian Ilmu Penyakit Saraf FK UNUD/RS Sanglah
(DR.
dr. DPG Purwa Samatra, Sp.S (K))
BAB I
PENDAHULUAN
Nyeri
Post-herpetik adalah nyeri yang timbul setelah gejala-gejala herpes zoster
mulai membaik.1 Neuralgia pasca herpetika (NPH) adalah komplikasi
yang serius dari Herpes Zoster, nyeri dirasakan di tempat penyembuhan ruam
Herpes Zoster, terjadi 9 % hingga 15 % pasien herpes zoster yang tidak diobati,
dengan risiko yang lebih tinggi pada usia tua. Data seluruh dunia menunjukkan
di antara pasien herpes zoster yang berumur di atas 60 tahun, 6% masih
merasakan nyeri saat 1 bulan sejak terkena herpes zoster; dan 1% masih
merasakan nyeri 3 bulan sesudahnya. Herpes zoster sendiri merupakan suatu
reaktivasi virus varicella (cacar air) yang berdiam di dalam jaringan saraf.
Gangguan sensorik berupa hiperestesia, hiperalgesia dan alodinia ikut memperberat
penderitaan yang dialami.2
NPH
ditandai gangguan fungsi saraf yang menyerang saraf nosiseptif (penghantar
rangsang nyeri) dan sensorik. Terbentuknya persambungan sel-sel saraf yang
abnormal dan ketidakseimbangan pengaturan otomatis pada sistem penghambatan
serta perangsangan saraf juga ditemukan dan berperan terhadap timbulnya nyeri
pada kasus ini. Tidak semua kasus herpes zoster diikuti dengan NPH. Kasus ini
lebih sering ditemukan pada lansia, serangan herpes zoster di wajah bagian atas
dan lengan, nyeri hebat pada saat serangan herpes zoster, dan ruam kulit yang
sangat banyak pada saat serangan herpes zoster. Pasien sudah pernah menderita
herpes zoster sebelumnya, dan nyeri dirasakan di tempat yang tadinya terdapat
ruam kulit. Nyeri demikian dapat dikategorikan sebagai NPH jika masih dirasakan
sampai lebih dari 3 bulan sejak hilangnya ruam kulit. Sifat nyeri umumnya
terasa seperti ditusuk-tusuk dan dapat dicetuskan oleh sentuhan ringan (yang
dalam keadaan normal tidak menimbulkan nyeri). Sejauh ini tidak ada pemeriksaan
laboratorium yang dibutuhkan untuk mendiagnosis NPH. Menurut Dworkin, 1994, mendefinisikan NPH
sebagai nyeri neuropatik yang menetap setelah onset ruam (atau 3 bulan setelah
penyembuhan herpes zoster). Sesuai dengan definisi sebelumnya maka The
International Association for Study of Pain (IASP) menggolongkan NPH
sebagai nyeri kronik yaitu nyeri yang timbul setelah penyembuhan usai atau
nyeri yang berlangsung lebih dari tiga bulan tanpa adanya malignitas.3,4,5
Kebanyakan data insidensi herpes
zoster dan neuralgia post herpertik didapatkan dari data
Eropa dan Amerika Serikat.. Sindrom nyeri ini menyerang 5 hingga 10% orang yang
terkena herpes zoster. Tetapi berlaku tiga kali lipat pada individu berusia di
atas 60 tahun. Penelitian Choo 1997 melaporkan prevalensi terjadinya NPH
setelah onset ruam herpes zoster sejumlah 8 kasus/100 pasien dan 60 hari
setelah onset sekitar 4.5 kasus/100 pasien. Sehingga berdasarkan penelitianChoo, diperkirakan angka terjadi NPH sekitar 80.000 kasus pada 30 hari dan
45.000 kasus pada 60 hari per 1 juta kasus herpes zoster di Amerika Serikat per
tahunnya. Sedangkan belum didapatkan angka insidensi Asia Australia dan Amerika
Selatan, tetapi presentasi klinis dan epidemiologi herpes zoster di Asia,
Australia dan Amerika Selatan mempunyai pola yang sama dengan data dari Eropa
dan Amerika Serikat. Pada herpes zoster akut hampir 100% pasien mengalami
nyeri, dan pada 10-70%nya mengalamia NPH. Nyeri lebih dari 1 tahun pada
penderita berusia lebih dari 70 tahun dilaporkan mencapai 48%. Dari data di
atas dapat di lihat bahwa faktor risiko yang begitu signifikan adalah seiring
dengan pertambahan umur. Faktor risiko lain yang mempunyai peranan pula dalam
menimbulkan NPH adalah gangguan sistem kekebalan tubuh, pasien dengan penyakit
keganasan (leukimia, limfoma), lama terjadinya ruam.3,5,6
NPH adalah,
nyeri yang dapat menganggu tidur, mood, dan
pekerjaan sehingga mempengaruhi kualitas hidup, baik jangka pendek maupun
jangka panjang. Pemberian terapi analgetik klasik tidak efektif terhadap
neuralgia pasca herpetika. Hal ini dapat dimengerti karena bukti-bukti ilmiah
telah menunjukkan adanya keterlibatan susunan saraf pusat pada NPH. Neuralgia pasca
herpetika merupakan penyebab nyeri deaferensiasi dan terbukti sering
menimbulkan masalah penatalaksanaan yang cukup sulit. Prioritas saat ini adalah
bagaimana memprediksi timbulnya NPH dan tentu saja patofisiologinya 2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
NPH adalah suatu kondisi nyeri
yang dirasakan di bagian tubuh yang pernah terserang infeksi herpes zoster
(cacar ular). Herpes zoster sendiri merupakan suatu reaktivasi virus varicella
(cacar air) yang berdiam di dalam jaringan saraf.7
Neuralgia atau
nyeri seperti didefinisikan oleh International Association for Study of Pain
(IASP), adalah suatu pengalaman sensorik dan emosional yang tidak menyenangkan
akibat kerusakan jaringan, baik aktual maupun potensial, atau yang digambarkan
dalam bentuk kerusakan tersebut. Dari definisi tersebut, nyeri terdiri atas dua
komponen utama, yaitu komponen sensorik (fisik) dan emosional (psikogenik).
Nyeri bisa bervariasi berdasarkan: waktu dan lamanya berlangsung (transien,
intermiten, atau persisten), intensitas (ringan, sedang dan berat), kualitas
(tajam, tumpul, dan terbakar), penjalarannya (superfisial, dalam, lokal atau
difus). Di samping itu nyeri pada umumnya memiliki komponen kognitif dan
emosional yang digambarkan sebagai penderitaan. Selain itu nyeri juga
dihubungkan dengan refleks motorik menghindar dan gangguan otonom yang oleh Woolf
(2004) disebut sebagai pengalaman nyeri 3,4,5,7,8
Neuralgia adalah nyeri seperti
terbakar, teriris atau nyeri disetetik yang bertahan selama berbulan-bulan
bahkan dapat sampai tahunan. Burgoon, 1957, mendefinisikan NPH sebagai nyeri
yang menetap setelah fase akut infeksi. Rogers, 1981, mendefinisikan sebagai
nyeri yang menetap satu bulan setelah onset ruam herpes zoster. Tahun 1989,
Rowbotham mendefinisikan sebagai nyeri yang menetap atau berulang setidaknya
selama tiga bulan setelah penyembuhan ruam herpes zoster. Dworkin, 1994,
mendefinisikan NPH sebagai nyeri neuropatik yang menetap setelah onset ruam
(atau 3 bulan setelah penyembuhan herpes zoster). Tahun 1999, Browsher
mendefinisikan sebagai nyeri neuropatik yang menetap atau timbul pada daerah herpes
zoster lebih atau sama dengan tiga bulan setelah onset ruam kulit. Dari
berbagai definisi yang paling tersering digunakan adalah definisi menurut
Dworkin.9,10
2.2 Epidemiologi
Evaluasi terhadap
data-data penelitian, diperkirakan Herpes
zoster mempengaruhi sekitar 3,4 dari 1000 penduduk, dan 0,49 dari 1000 penduduk berkembang kearah NPH tiap tahunnya. NPH diperkirakan
menghinggapi pada 9-19% dari semua pasien dengan riwayat Herpes zoster. Meskipun Herpes
Zoster dapat terjadi pada semua usia, insidennya meningkat pada usia tua. Risiko NPH diperkirakan 2% pada pasien dengan usia kurang dari 50 tahun, sekitar 20% pada pasien di atas 50 tahun, dan sekitar 35% pada mereka yang lebih dari 80 tahun.11
NPH dapat
diklasifikasikan menjadi
neuralgia herpetik akut (30 hari setelah timbulnya ruam pada kulit), neuralgia herpetik
subakut (30-120 hari setelah
timbulnya ruam pada
kulit) dan NPH
(di definisikan sebagai rasa
sakit yang terjadi
setidaknya 120 hari
setelah timbulnya ruam
pada kulit).7,12
NPH
lebih banyak menyerang lansia dan orang dengan kekebalan tubuh yang rendah.
Data seluruh dunia menunjukkan di antara pasien herpes zoster yang berumur di
atas 60 tahun, 6% masih merasakan nyeri saat 1 bulan sejak terkena herpes
zoster; dan 1% masih merasakan nyeri 3 bulan sesudahnya.7
Penelitian
Choo 1997 melaporkan prevalensi terjadinya NPH setelah onset ruam herpes zoster
sejumlah 8 kasus/100 pasien dan 60 hari setelah onset sekitar 4.5 kasus/100
pasien. Sehingga berdasarkan penelitian Choo, diperkirakan angka terjadi NPH
sekitar 80.000 kasus pada 30 hari dan 45.000 kasus pada 60 hari per 1 juta
kasus herpes zoster di Amerika Serikat per tahunnya.3
Pada
herpes zoster akut hampir 100% pasien mengalami nyeri, dan pada 10-70%nya
mengalamia NPH. Nyeri lebih dari 1 tahun pada penderita berusia lebih dari 70
tahun dilaporkan mencapai 48%.3
Gambar 1. Neuralgia Pasca herpetika2
2.3 Patofisiologi
Infeksi
primer berasal dari virus varisella zoster atau yang dikenal sebagai varisella
atau cacar air. Pajanan pertama biasanya terjadi pada usia kanak-kanak. Virus
ini masuk ke tubuh melalui sistem respiratorik. Pada nasofaring, virus
varisella zoster bereplikasi dan menyebar melalui aliran darah sehingga terjadi
viremia dengan manifestasi lesi kulit yang tersebar di seluruh tubuh. Periode
inkubasi sekitar 14-16 hari setelah paparan awal. Setelah infeksi primer
dilalui, virus ini bersarang di ganglion kornu dorsal, hidup secara dorman
selama bertahun-tahun.3
NPH memiliki
patofisiologi yang berbeda
dengan nyeri herpes zoster
akut. NPH, komplikasi dari herpes
zoster, adalah sindrom nyeri neuropatik yang dihasilkan dari kombinasi
inflamasi dan kerusakan akibat virus pada serat aferen primer saraf sensorik.
Setelah resolusi infeksi primer varicella, virus tetap aktif di ganglia
sensorik. Virus ini diaktifkan kembali atau mengalami reaktivasi,
bermanifestasi sebagai herpes zoster akut, dan berhubungan dengan kerusakan
pada ganglion, saraf aferen primer, dan kulit. Studi histopatologi telah
menunjukkan fibrosis dan hilangnya neuron (dalam ganglion dorsal), jaringan
parut, serta kehilangan akson dan mielin (pada saraf perifer yang terlibat),
atrofi (dari tanduk dorsal sumsum tulang belakang), dan peradangan (sekitar
saraf tulang belakang) dengan infiltrasi dan akumulasi limfosit. Selain itu,
ada pengurangan saraf inhibitor berdiameter besar dan peningkatan neuron
eksitasi kecil, pada saraf perifer.13
Patofisiologi
NPH terjadi oleh karena cedera neuron yang mengenai sistem saraf baik perifer
maupun pusat. Cedera ini mengakibatkan neuron sentral dan perifer mengadakan
discharge spontan sementara juga menurunkan ambang aktivasi untuk menghasilkan
nyeri yang tidak sesuai pada stimulus yang tidak menyebabkan nyeri. Biopsi
kulit menunjukkan hilangnya ujung saraf bebas epidermal pada daerah yang
terkena. Namun, reinervasi tidak dibutuhkan untuk resolusi nyeri.14
Reaktivasi
virus ini mengakibatkan inflamasi
atau kerusakan pada serabut
saraf sensoris yang
berkelanjutan, hilang dan
rusaknya serabut-serabut saraf
atau impuls abnormal, dimana serabut saraf berdiameter besar yang berfungsi sebagai inhibitor hilang atau
rusak dan mengalami
kerusakan terparah. Akibatnya,
impuls nyeri ke medulla spinalis meningkat sehingga pasien merasa nyeri
yang hebat. Virus herpes zoster kebanyakan memusnahkan sel-sel ganglion yang
berukuran besar sementara yang tersisa adalah sel-sel berukuran kecil. Mereka
tergolong dalam serabut halus yang menghantarkan impuls nyeri, yaitu serabut
A-delta dan C. Hal ini menyebabkan semua impuls yang masuk diterima oleh
serabut penghantar nyeri. Selain itu pada saraf perifer terjadi lesi yang
mengakibatkan saraf perifer tersebut memiliki ambang aktivasi yang lebih rendah
sehingga menimbulkan hyperesthesia,
yaitu respon sensitivitas yang berlebihan terhadap stimulus. Hal ini
menunjukkan adanya kelainan pada proses transduksi.3
Penghantaran
nyeri pada proses transmisi juga mengalami gangguan. Hal ini diakibatkan oleh
hilangnya impuls yang disalurkan oleh serabut tebal, sehingga semua impuls yang
masih bisa disalurkan kebanyakan oleh serabut halus. Akibatnya sumasi temporal
tidak terjadi, karena impuls yang seharusnya dihantarkan melalui serabut tebal
dihantarkan oleh serabut halus. Karena sebagian besar dari serabut tebal sudah
tidak ada, maka mayoritas dari serabut terdiri dari serabut halus. Karena itu
sumasi temporal yang wajar menghilang.3
Dengan
hilangnya sumasi temporal maka proses modulasi yang terjadi pada kornu
posterior tidak berjalan secara normal, akibatnya tidak terjadi proses antara
sistem analgesik endogen dengan asupan nyeri yang masuk ke kornu posterior.
Kornu posterior adalah pintu gerbang untuk membuka dan menutup jalur
penghantaran nyeri. Hal ini dapat mengakibatkan munculnya gejala hiperalgesia. Maka
dari itu impuls yang dipancarkan ke inti thalamus semuanya tiba kira-kira pada
waktu yang sama dan hampir semuanya telah dihantarkan oleh serabut halus yang
merupakan serabut penghantar impuls nyeri. Kedatangan impuls yang serentak
dalam jumlah yang besar dipersepsikan sebagai nyeri hebat yang sesuai dengan
sifat neuralgia. Sesuai dengan tipe pada penghantaran serabut saraf
masing-masing, yaitu serabut saraf tipe A membawa nyeri tajam, tusuk dan
selintas sedangkan serabut saraf tipe C membawa nyeri lambat dengan rasa
terbakar dan berkepanjangan. Hal ini mengakibatkan timbulnya allodinia, yaitu
nyeri yang disebabkan oleh stimulus normal (secara normal semestinya tidak
menimbulkan nyeri).3,14
Pada
level selular, bukti menunjukkan peningkatkan proporsi kanal natrium voltage-gated, perubahan kanal kalium
voltage-gated, dan regulasi berlebih pada reseptor yang berhubungan dengan
nyeri seperti transient receptor potential vanilloid 1 (TRPV1). Perubahan ini
berhubungan dengan nyeri spontan dan yang dirangsang ke ambang yang lebih
rendah pada potensial aksi. TRPV1 merupakan kanal kalsium nonselektif dengan
permeabilitas kalsium yang tinggi yang diekspresikan pada ujung terminal dari
neuron sensori berdiameter kecil. Inhibisi dari reseptor TRPV1 dapat mencegah
potensial aksi pada neuron perifer yang menuju pada transmisi nyeri. Terdapat
juga bukti bahwa hilangnya interneuron inhibitor γ—aminobutyyric acid pada
kornu dorsal sesuai dengan hilangnya inhibisi desenden.13
Meskipun
terdapat predileksi untuk keikutsertaan nervus dan ganglion sensoris, deficit
motorik dapat terjadi dari perluasan infeksi serta inflamasi pada kornu
anterior medulla spinalis.13
Gambar
2. Model terjadinya NPH.13
NPH
dibedakan menjadi dua submodel, yaitu irritable
nociceptor dan deafferentation.
Model irritable nociceptor berhubungan dengan aktivitas Serabut serat C dan
adanya alodinia taktil, mekanik, dan suhu yang berat dengan kehilangan sensoris
yang kecil atau tidak ada sama sekali. Nosiseptor Serabut serat C biasanya
hanya terstimulasi oleh stimulus noxious, namun dengan adanya perubahan selular
yang telah dijelaskan di atas menyebabkan serat saraf ini tersensitisasi,
merendahkan ambang aksi potensialnya, dan meningkatkan level dan besar
pelepasannya. Luaran klinisnya adalah nyeri spontan dan alodinia termediasi NPH.13
Model
deafferentation berhubungan dengan alodinia dan kehilangan sensoris yang
berhubungan dengan dermatom. Deafferentation perifer menghasilakn reorganisasi
kornu posterior. Serabut serat C yang tersensitisasi pada saraf perifer
berkurang jumlahnya yang mengakibatkan bertunasnya serat A-β (serat berdiameter
tebal yang berespon terhadap stimulus mekanik seperti raba dan tekanan).
Pertunasan serat A-β akhirnya menghasilkan hubungan dengan traktus
spinotalamikus pada medulla spinalis yang sebelumnya mengadakan sinaps dengan
serat C untuk menghantarkan nyeri. Luaran klinis dari reorganisasi kornu dorsal
yang disebabkan oleh degenerasi serat C dengan perhubungan serat A-β
mengakibatkan rangsang sentuh dan tekanan menjadi berkomunikasi silang dengan
traktus spinotalamikus yang menghantarkan nyeri, menghasilkan alodinia yang
diperantarai SSP.13
Sensitisasi
sentral juga memainkan peranan penting dalam NPH karena impuls yang terus
menerus dan konstan menuju medulla spinalis, juga dengan cedera virus secara
langsung menyebabkan eksitabilitas kronik sehingga input normal dan banyak dari
nosiseptor perifer menghasilkan respon sentral yang meningkat.13
Patogenesis
terjadinya herpes zoster disebabkan oleh reaktivasi dari virus varisella zoster
yang hidup secara dorman di ganglion. Imunitas seluler berperan dalam
pencegahan pemunculan klinis berulang virus varicella zoster dengan mekanisme yang
tidak diketahui. Hilangnya imunitas seluler terhadap virus dengan bertambahnya
usia atau status immunocompromise
dihubungkan dengan tanda reaktivasi klinis. Saat terjadi reaktivasi, virus
berjalan di sepanjang akson menuju ke kulit. Pada kulit terjadi proses
peradangan dan telah mengalami denervasi secara parsial. Di sel-sel epidermal,
virus ini bereplikasi menyebabkan pembengkakan, vakuolisasi dan lisis sel
sehingga hasil dari proses ini terbentuk vesikel yang dikenal dengan nama Lipschutz inclusion body. Pada ganglion
kornu dorsalis terjadi proses peradangan, nekrosis hemoragik, dan hilangnya
sel-sel saraf. Inflamasi pada saraf perifer dapat berlangsung beberapa minggu
sampai beberapa bulan dan dapat menimbulkan demielinisasi, degenerasi wallerian
dan proses sklerosis. Proses perjalanan virus ini menyebabkan kerusakan pada
saraf.3
Beberapa
perubahan patologi yang dapat ditemukan pada infeksi virus varisella zoster: 15
- Reaksi inflamatorik pada beberapa unilateral ganglion sensorik di saraf spinal atau saraf kranial sehingga terjadi nekrosis dengan atau tanpa tanda perdarahan.
- Reaksi inflamatorik pada akar spinal dan saraf perifer beserta ganglionnya.
- Gambaran poliomielitis yang mirip dengan poliomielitis anterior akut, yang dapat dibedakan dengan lokalisasi segmental, unilateral dan keterlibatan dorsal horn, akar dan ganglion.
- Gambaran leptomeningitis ringan yang terbatas pada segmen spinal, kranial dan akar saraf yang terlibat.
Pada
otopsi pasien yang pernah mengalami herpes zoster dan NPH ditemukan atrofi
kornu dorsalis, sedangkan pada pasien yang mengalami herpes zoster tetapi tidak
mengalami NPH tidak ditemukan atrofi kornu dorsalis.3
Mekanisme
nyeri 16
Proses
terjadinya nyeri secara umum dapat dibagi menjadi 4 fase :
1. Fase I : proses stimulasi singkat
(nyeri nosiseptif)
2. Fase II : proses stimulasi yang
berkepanjangan, yang menyebutkan lesi atau inflamasi jaringan (nyeri inflamasi)
3. Fase III : proses yang terjadi akibat
lesi dari sistem saraf (nyeri neuropatik)
4. Fase IV : proses yang terjadi akibat
respon abnormal susunan saraf (nyeri fungsional)
Fase I
disebut juga nyeri nosiseptif. Pukulan, cubitan, aliran listrik dan sebagainya,
yang mengenai bagian tubuh tertentu akan menyebabkan timbulnya persepsi nyeri.
Bila stimulasi tersebut tidak begitu kuat dan tidak menimbulkan lesi, maka
persepsi nyeri yang timbul akan terjadi dalam waktu singkat.16
Fase
II, nyeri yang terjadi pada fase II berbeda dengan fase I. Pada fase II,
stimuli yang merangsang jaringan cukup kuat, sehingga jaringan akan menyebabkan
fungsi berbagai komponen sistem nosiseptif berubah.16
Ciri
khas dari inflamasi ialah rubor, kalor, tumor, dolor dan fungsiolesa. Rubor dan
kalor merupakan akibat bertambahnya aliran darah, tumor akibat meningkatnya
permeabilitas pembuluh darah, dolor terjadi akibat aktivasi atau sensitisasi
nosiseptor dan berakhir dengan adanya penurunan fungsi jaringan yang mengalami
inflamasi (fungsiolesa).16
Perubahan
sistem nosiseptif pada inflamasi disebabkan oleh jaringan yang mengalami
inflamasi mengeluarkan berbagai mediator inflamasi, speri bradikinin,
prostaglandin, leukotrien, amin, purin, sitokin, dan sebagainya, yang dapat
mengaktivasi atau men-sensitisasi nosiseptor secara langsung maupun tidak
langsung.16
Fase
III dikenal sebagai nyeri neuropatik. Lesi saraf tepi atau sentral akan
mengakibatkan hilangnya fungsi seluruh atau sebagian dari sistem saraf
tersebut. Lesi saraf menyebabkan perubahan fungsi neuron sensorik yang dalam
keadaan normal dipertahankan secara aktif oleh keseimbangan antara neuron
dengan lingkungannya. Gangguan yang terjadi dapat berupa gangguan keseimbangan
neuron sensorik, melalui perubahan molekuler, sehingga aktivitas sistem saraf
aferen menjadi abnormal (mekanisme perifer) yang selanjutnya menyebabkan
gangguan nosiseptif sentral (sensitisasi sentral). 4 mekanisme penyebab
timbulnya aktivitas abnormal sistem saraf aferen akibat lesi, yaitu: 3,16
1. aktivitas ektopik
2. sensitisasi nosiseptor
3. interaksi abnormal antar serabut saraf
4. hipersensitivitas terhadap katekolamin
Fase
IV disebut nyeri fungsional yang merupakan konsep yang masih baru. Bentuk sensitivitas
nyeri ini ditandai dengan tidak ditemukannya abnormalitas perifer dan defisit
neurologis. Nyeri disebabkan oleh respon atau fungsi abnormal sistem saraf,
dimana sensitivitas apparatus sensorik memperkuat gejala. Beberapa kondisi umum
memiliki gambaran tipe nyeri ini yaitu fibromyalgia, irritable bowel syndrome, beberapa bentuk nyeri dada non-kardiak,
dan nyeri kepala tipe tegang.16
Allodinia
adalah nyeri yang disebabkan oleh stimulus normal (secara normal semestinya
tidak menimbulkan nyeri). Impuls yang dijalarkan serabut Aß yang biasanya
berupa sentuhan halus atau raba normal dirasakan normal, tetapi pada allodinia
dirasakan sebagai nyeri. Mekanisme terjadinya allodinia disebabkan oleh adanya
: 3,16
- Sensitisasi sentral, dimana terjadinya peningkatan jumlah potensial aksi sebagai respon terhadap stimuli noksius dan penurunan nilai ambang rangsang sehingga stimuli non noksius mampu menimbulkan rasa nyeri.
- Perubahan serabut Aß dimana serabut ini mengeluarkan substansia P. Pada nyeri neuropatik hal ini berlangsung terus dikarenakan sumber impuls datang dari perifer berupa ectopic discharge.
- Hilangnya kontrol inhibisi. Neurotransmitter inhibisi seperti GABA atau glycin berfungsi untuk mempertahankan potensial membran mendekati potensial istirahat. Tetapi pada nyeri neuropatik terdapat penurunan aktivitas inhibisi (hal ini diperkirakan oleh karena kematian sel-sel inhibisi). Sehingga terjadi eksitasi berlebihan.
Nyeri pada NPH merupakan nyeri neuropatik yang diakibatkan dari
perlukaan saraf perifer sehingga terjadi perubahan proses pengolahan sinyal
pada sistem saraf pusat. Saraf perifer yang sudah rusak memiliki ambang
aktivasi yang lebih rendah sehingga menunjukkan respon berlebihan terhadap
stimulus. Regenerasi akson setelah perlukaan menimbulkan percabangan saraf yang
juga mengalami perubahan kepekaan. Aktivitas saraf perifer yang berlebihan
tersebut menimbulkan perubahan berupa hipereksitabilitas kornu dorsalis
sehingga pada akhirnya menimbulkan respon sistem saraf pusat yang berlebihan terhadap
semua rangsang masukan/sensorik.17
2.4 Faktor Risiko
Oleh karena herpes disebabkan oleh
virus herpes zoster, hanya mereka yang pernah mengidap cacar air bisa mengidap
herpes zoster. Zoster bisa terjadi apabila sistem imun seorang individu telah lemah.
Ini bisa terjadi secara alami bila manusia menua. Oleh itu, orang yang lebih tua
(>50) lebih berisiko mendapat zoster. Setiap faktor yang bisa melemahkan sistem
imun seperti AIDS, diabetes, penyakit Hodgkins, leukemia dan obat seperti
steroid, bisa meningkatakan faktor risiko untuk mendapat zoster.18
Semakin tua seseorang,
semakin bisa mereka mengidap NPH. Derajat dan jangka masa NPH juga meningkat dengan
umur. Bisa terjadi seseorang yang muda untuk mengidap NPH, tetapi ini amat jarang
sekali. Terdapat faktor lain yang bisa meningkatkan risiko NPH dapat mengkomplikasi
erupsi zoster.18
Wanita lebih cenderung
mengidap NPH. Kebanyakan wanita melaporkan iritasi daripada pemakaian produk kewanitaan
seperti tampon dan pembersih hygiene wanita yang menyebabkan iritasi pada tempat
yang digunakan. Wanita juga lebih cenderung mendapatkan NPH sekitar waktu haid.
Wujudnya prodrome di mana rasa nyeri yang berdenyut-denyut dan hipesthesi di
dermatome di mana herpes zoster bakalan muncul merupakan faktor risiko untuk NPH.19
Penelitian bisa menunjukkan
bahwa lebih banyak nyeri yang dirasakan oleh pasien pada awal penyakit, lebih cenderung
pasien mendapat NPH. Derajat dan stess psikologis yang muncul pada waktu munculnya
zoster bisa menjadi faktor risiko. Seseorang yang mempunyai “personality
disorder” atau depresi lebih cenderung mengidap NPH.19
Di
samping itu, zoster yang mengenai kepala bagian depan dan mata pasien yang juga
dinamakan zoster ophthalmic, bias meningkatkan faktor risiko untuk NPH.19
Penelitian dapat
menunjukkan bahwa Caucasians lebih cenderung mengidap NPH dari orang ras Afrika,
Asia atau Hispanik. Zoster tidak dapat tertular secara langsung, tetapi mereka
yang tidak pernah mengidap cacar air berkontak dengan mereka yang mengidap
zoster bias mendapat cacar air. Di samping ini, setiap faktor risiko untuk
mengidap varicella (Varicella-Zoster Virus) juga merupakan faktor risiko untuk
mendapat NPH. Ini adalah sebab NPH hanya mempengaruhi seseorang yang mempuyai
VZV yang telah pun berumah di badan seseorang tersebut.19
Ini merupakan
faktor risiko:19
·
Orang yang tidak pernah mengidap cacar air
·
Orang yang tidak pernah mendapat vaksinasi
terhadap cacar air
·
Orang yang ada kontak dengan orang yang mengidap
cacar air atau dengan alat makan atau barang pribadi mereka
·
Orang dengan sistem imun yang tidak kuat
(immunocompromised) seperti mereka yang mengidap AIDS, HIV, menjalani
chemotherapy, deformitaskongenital)
·
Orang dengan kanker
·
Wanita hamil
BAB III
KESIMPULAN
NPH adalah suatu kondisi nyeri
yang dirasakan di bagian tubuh yang pernah terserang infeksi herpes zoster
(cacar ular). Herpes zoster sendiri merupakan suatu reaktivasi virus varicella
(cacar air) yang berdiam di dalam jaringan saraf.
NPH dapat
diklasifikasikan menjadi
neuralgia herpetik akut (30 hari setelah timbulnya ruam pada kulit), neuralgia
herpetik subakut (30-120 hari setelah
timbulnya ruam pada
kulit) dan NPH
(di definisikan sebagai rasa
sakit yang terjadi
setidaknya 120 hari
setelah timbulnya ruam
pada kulit).
NPH lebih banyak menyerang lansia
dan orang dengan kekebalan tubuh yang rendah. Data seluruh dunia menunjukkan di
antara pasien herpes zoster yang berumur di atas 60 tahun, 6% masih merasakan
nyeri saat 1 bulan sejak terkena herpes zoster; dan 1% masih merasakan nyeri 3
bulan sesudahnya.
Patofisiologi
NPH terjadi oleh karena cedera neuron yang mengenai sistem saraf baik perifer
maupun pusat. Cedera ini mengakibatkan neuron sentral dan perifer mengadakan
discharge spontan sementara juga menurunkan ambang aktivasi untuk menghasilkan
nyeri yang tidak sesuai pada stimulus yang tidak menyebabkan nyeri. Biopsi
kulit menunjukkan hilangnya ujung saraf bebas epidermal pada daerah yang
terkena. Namun, reinervasi tidak dibutuhkan untuk resolusi nyeri.
Faktor risiko
pasien dengan Neuralgia Pasca Herpetic adalah:
·
Orang yang tidak pernah mengidap cacar air
·
Orang yang tidak pernah mendapat vaksinasi
terhadap cacar air
·
Orang yang ada kontak dengan orang yang mengidap
cacar air atau dengan alat makan atau barang pribadi mereka
·
Orang dengan sistem imun yang tidak kuat
(immunocompromised) seperti mereka yang mengidap AIDS, HIV, menjalani
chemotherapy, deformitaskongenital)
·
Orang dengan kanker
·
Wanita hamil
·
Anak-anak kecil
DAFTAR PUSTAKA
1.
Ngoerah
I.G.N.G., (1991), ”Dasar-Dasar Ilmu Penyakit Saraf” , Airlangga University
Press pp 349-350 Surabaya 1991.
2.
Meliala
L. Neuralgia Pasca Herpes. Nyeri Neuropatik. Kelompok Studi Nyeri PERDOSSI 2008
; 63-76
3.
Martin. Ilmiah : NPH. 2008.
[on line] http://www.perdossijaya.org/perdossijaya/index.php?option=com_content&view=section&id=7&layout=blog&Itemid=63
– 92k –
4.
Tanra, H. Suplement : Nyeri Suatu Rahmat Sekaligus Sebagai
Tantangan. Bidang Ilmu Kedokteran Umum Fakultas Kedokteran Universitas
Hasanuddin. Makassar 2005; 26 (3) 75-83
5.
K. K. Sra, MD and S.
K. Tyring, MD, PhD, MBA. Treatment of NPH. USA : 2008; (29)
[on line] http:// Skin Therapy Letter .com
6.
Ropper, A. H.
Principles Of Neurology : Viral Infection of the Nervous system,
chronic meningitis, prion disease. New York : McGraw-Hill. 2005 (8) :
643-644
7.
W Alvin McElveen. 2012. NPH. Diakses dari: http://emedicine.medscape.com/article/1143066-overview.
8.
Djuanda, A dkk.
Ilmu Penyakit Kulit dan kelamin : Penyakit Virus. Jakarta: Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. 1993; (3): 94-95
9.
Bowsher
D. The lifetime occurence of herpes zoster and prevalence of post-herpetic
neuralgia: a retrospective survey in an elderly population. Eur J Pain
1999;3:335-42
10.
Dworkin
RH, Portenoy RK. Proposed classification of herpes zoster pain. Lancet
1994;343:1648.
- Robert Zorba Paster, The Challenges of in the Long-Term Care Setting Postherpetic Neuralgia. Endo Pharmaceuticals. 2011;1:1.
12.
Mario Roxas, ND. 2006. Herpes Zoster and NPH:
Diagnosis and Therapeutic Considerations. Alternative Medicine Review. 2006; 11:2
13. Jericho Barbara G. Postherpetic Neuralgia: A Review. The
Internet Journal of Orthopedic Surgery. 2010;16: 2.
14.
Gharibo Christopher, Kim Carolyn. Neuropatic
Pain of Postherpetic Neuralgia. Pain Medicine News Special Edition. 2010
15.
Hopper
AH, Brown RH. Adams and Victor’s Principles of Neurology. 7th ed. New York, NY:
McGraw Hill; 2005:797
16. Meliala L. Patofisiologi Nyeri. Nyeri
Neuropatik. Kelompok studi nyeri PERDOSSI 2008 ; 1-28
17. Meliala L. NPH. Penuntun Penatalaksaan
Nyeri Neuropatik. Kelompok studi nyeri PERDOSSI 2007 ; 59-60
18. Anonim. 2012. Post-Herpetic Neuralgia.
Diakses dari: http://www.healingchronicpain.org/content/neuralgia/default.asp
19. Anonim. 2012. Postherpetic Neuralgia.
Diakses dari: http://www.patient.co.uk/health/Postherpetic-Neuralgia.htm
Anda baru saja membaca artikel yang berkategori dengan judul PATOFISIOLOGI DAN FAKTOR RISIKO NEURALGIA PASCA HERPETIKA. Anda bisa bookmark halaman ini dengan URL https://theherijournals.blogspot.com/2013/01/patofisiologi-dan-faktor-risiko.html. Terima kasih!
Ditulis oleh:
Unknown - 5/12/2013
Dok... penanganan NPH ini bagaimana ya? Apakah dgn terapi sinar bs membantu pemulihan? Minum obat nyeri jg tdk terlalu membantu.. terima kasih Dok
BalasHapusKonsulkan ke neurologist, karena kita punya tangga (stepladder) pemberian analgetik rasional. :)
BalasHapus