| sebuah blog sederhana |

.
)|( Dimana Inspirasi semua Bermula )|( Faidza Azzamta Fatawakkal Alallah )|( Al Wajaba Aktsaru Minal Auqaat )|( As Shabru Fii Awwali Shadam )|(

Total Pengunjung

Aku Futur

“Ayo!”, gumamku dalam hati.
Kuupayakan berlari sekuat-kuatnya. Berlari, hingga lewat batas irama langkahku tak beraturan. Kucoba meski harus menyeret langkah. Apapun bahkan bila harus menyaingi ayunan langkah sang waktu - benar-benar cepat. Benar-benar ingin kukejar. Tiada sempat untukku mengatur nafas. Yang tersengal untuk mencukupi asupan oksigen yang bahkan tak pernah sampai ke jantung. Hingga peluh pun deras meluncur. Tiba-tiba mataku serasa berkunang. Kuhentikan langkah berlariku. Perlahan. Kudapati sang masinis tlah memacu kereta itu jauh - tak tertangkap mata ini lagi.
“Oh, apa yang kuperbuat”, sesalku dalam hati.
Dan kepulan asap hitam itu berlalu semakin tenggelam. Langkahku terpaku. Kubenahi tas ranselku, entah kenapa terasa begitu berat. Kereta itu tlah meninggalkan seseorang. Dari kejauhan, asap yang mengepul seakan melambai. Menandai salam perpisahan tuk terakhir kali. Mata ini hanya dapat memejam. Sedikit menitikkan air mata.
“Apa hanya mimpi?” tak kuketahui pula hendak kemana kereta itu berlalu. Samar.
“Lalu untuk apa diriku bersedih?”
Sedih. Ku kitari sekeliling langit tampak putih dengan awan-awan berbagai rupa. Sepertinya musim tiba-tiba berganti. Menggugurkan panas dan menguapkan organ-organ di dalam tubuh. Beban menukik punggung ini. Aku menunduk - udara terasa berkilo-kilo beratnya. Keringatku jatuh ke tanah. Entah hanya imajinasiku atau apa, namun daun-daun di balik taman seolah meranggas begitu cepat. Mataku sayu. Jauh dan jauh. Semakin samar. Hanya sesekali telingaku menangkap suara. Sayup-sayup, deru roda besi yang saling bertubrukan dengan rel, bergesek di bawah kaki langitNya. Pagi yang elok, namun langit begitu rapat terbungkus awan. Kereta yang slama ini kunanti. Iapun kini tlah berangkat. Di sekeliling tiada nampak seseorang. Mereka tlah berangkat. Hanya kesunyian dan langit semakin gelap. Beginikah, suasana kehidupan setelah kematianku nanti? Aku sendiri. Tersadar. Bertatap langit. Ternyata hanya sebuah lamunan. Imajinasi yang membingungkan.

Kudapati satu hal, bahwa waktu akan terus berjalan. Meninggalkan siapapun. Yang tiada bersiap. Bagaimanapun kondisinya. Waktu ini, Ya Rabb tak pernah berlebih tiada jua berkurang. Kecuali atas kuasaMu. Mudah sekali kau benamkan waktu dalam dimensi dan ruang yang saling berhimpit. Waktu mungkin tak akan seperti berlari bila kita mampu menjadi imam yang baik bagi diri sendiri. Dan seorang sahabat memberiku nasihat,
“Akhi, bila waktu terasa begitu sempit. Maka bukan waktu yang salah akh, tapi kita yang selalu lalai untuk memanfaatkannya”. Dan kuimbuhi dalam diam, Ya dan akhirnya kita terburu mengisinya di belakang hari. Terlambat. Benar-benar terlambat.

“Tiap-tiap ummat itu memiliki batas waktu. Dan apabila tlah datang waktunya. Maka, mereka tidak akan dapat memundurkannya sesaatpun atau pula memajukannya” (QS Al-A’raf: 34).

Sebuah muhasabah yang membuat diri ini benar-benar berpikir akan nikmat yang diberikanNya. Nikmat waktu. Nikmat usia. Nikmat muhasabah. Sepulang dalam sebuah majlis ilmu yang diadakan kawan-kawan LDK. Menyambut tahun baru hijriyah. Penuh dengan muhasabah. Sungguh kudapati dalam kebiasaan hidupku. Allah tak pernah berhenti memperhatikan, menegur dan membijaksanai setiap perilaku hamba dhoif yang senantiasa lalai ini.

Aku jadi teringat sebuah persamaan sederhana, bak makanan yang bervariasi dan penuh gizi serta makanan lainnya yang senantiasa sama hingga menjemukan saat kita memakannya. Hal ini yang kualami, dimana selalu kuyakini bahwa seorang saudara kepada saudaranya tidak akan pernah saling mendzolimi. Saudara yang slalu menasihatkan sebab cinta karna Allah. Dialah yang diam-diam rutin mendoakan umur yang panjang lagi bermanfaat untuk saudara dakwahnya. Sungguh, hingga sering terlupa bagaimana mendoakan dirinya. Dialah yang akan selalu berusaha tersenyum, meski menanggung beban yang ia terus pendam hingga menanar luka. Dialah yang mencoba tuk selalu berkarya, meski kefuturan bertubi datang dan berat tuk mengazzam sebuah amanah. Dialah yang mampu tuk selalu terlihat ceria, hingga penolakan yang sering diterimanya seolah tinta setitik dalam samudra hatinya. Ya ikhwah, kita ketahui begitu banyak amanah. Yang tentunya menjemukan. Dengan waktu yang tak pernah berlebih, tiada jua berkurang. Apa yang kau cari sebenarnya? Engkau bertarung sendiri dan apa alasanmu sebenarnya? Hingga satu-persatu mereka meninggalkanmu, apa yang membuatmu bertahan? Tidakkah kau lihat saudaramu yang lain? Begitu keras segenggam batu itu kau remuk sendiri. Yaa, dan batu itu hancur oleh remukan yang sama. Begitu pula sukma ini kan meradang dengan sakit yang sama berkali-kali datang. Tapi, bukankah begitu deraan yang diterima para sahabat dahulu? Mereka selalu mendapati siksaan yang sama kejamnya bahkan lebih. Hingga membuat mereka menyadari, sejatinya mereka tengah diuji. Mereka bukanlah hamba terpilih yang dinaungi kesabaran tinggi. Namun, mereka terpilih untuk menjalani ujian. Mereka adalah sahabat yang senantiasa imannya dikuatkan Rasulullah atas izin Allah. Karena itu ikhwah. Bak makanan yang kau makan tiap hari menjemukan karna rasanya yang sama akan menurunkan nafsu makanmu, bahkan untuk menyentuhnya di kemudian hari engkau tak mau. Maka, ingatilah makanan itu sebagai ujian yang senantiasa sama menyepuh keimananmu. Jangan pernah berlari menjauhinya, jangan pula membuat taqwamu kendur. Dalam hati seorang pejuang, akan timbul perasaan merugi. Sebab Allah tlah berjanji bersama kesulitan itu ada kemudahan. Bila kau tinggalkan kesulitan itu dengan kefuturan, maka engkau tlah meninggalkan nikmat kemudahan yang akan membersamainya.

Hah, diri ini sebenarnya sedang butuh dukungan. Dengan amalan yang menentramkan, dengan sendu di sepertiga malam yang mengharukan. Di kala tak mampu menahan. Hanya ada kekecewaan. Dan Allah Maha Bijaksana, hingga ingin kuimani rasa bijaksana itu untuk menentramkan hati ini. Dan Allah itu Maha Mencipta, mudah baginya mencipta obat untuk hati ini. Bukankah Ia Yang Maha Membolak-balikkan hati? Dan hanya kepadanya segala suguhan terbaik atas ujian keimanan ini. Kesabaran. Dan kuingati kembali kereta itu sebenarnya tak pernah jauh, ia ada. Hanya mata ini yang tak pernah mampu menangkap jauhnya. Dan menungguiku di sana. Bukankah Allah kan mendatangkan jalan keluar dan rizki dari arah yang tidak disangka-sangka. Maka, sabarlah. Bukan untuk diam menerima ujian. Namun, berikhtiar slalu menjemput nikmat yang tak pernah berlari. Pasti, hingga datang diri ini dengan iman sepenuh hati. Ya akhi? Bagaimana kabar antum? Ingat ana akhi, dikala antum susah. Meski tak sempat, tapi doa ana kan selalu ada. Ingat ana akhi di kala antum susah, meski tak pernah berjumpa. Ukhuwah ini senantiasa merindu tuk berjumpa.

Mengantarkanku, kembali pulang.
Yaa, akhir-akhir ini banyak juga ujian yang kuterima.










Rampung-- Denpasar, 9 desember 2010
pukul 14:32 WITA
di warnet yang baru buka, sehabis hari raya Galungan
...
ikhwanJAYUS
untuk yang tengah diuji keimanannya - untuk manusia pilihan - untuk sahabatku - jangan biarkan, ikatan hati ini terpecah
Anda baru saja membaca artikel yang berkategori dengan judul Aku Futur. Anda bisa bookmark halaman ini dengan URL https://theherijournals.blogspot.com/2013/06/aku-futur.html. Terima kasih!
Ditulis oleh: Unknown - 6/19/2013

Belum ada komentar untuk "Aku Futur"

Posting Komentar

Silahkan tinggalkan komentar anda disini :)

Entri Populer

Blog Teman

Komentar Kita