| sebuah blog sederhana |

.
)|( Dimana Inspirasi semua Bermula )|( Faidza Azzamta Fatawakkal Alallah )|( Al Wajaba Aktsaru Minal Auqaat )|( As Shabru Fii Awwali Shadam )|(

Total Pengunjung

4/30/2014

Kanker Testis




BAB I
PENDAHULUAN


1.1  Latar Belakang
Kanker Testis merupakan bentuk kanker yang relatif jarang. Walaupun kanker ini hanya 1 – 1.5% pada laki-laki, Kanker Testis adalah keganasan padat yang paling sering pada laki-laki muda. Usia puncak untuk kanker testis adalah 15 hingga 35 tahun. Insidens meningkat perlahan setelah usia 40 tahun. Sesuai dengan data yang didapatkan dari American Cancer Society, di Amerika Serikat sepanjang tahun 2009, insiden kanker testis mencapai 8.400 kasus baru dan 380 diperkirakan berakhir dengan kematian.

1.2  Tujuan
1.      Menjelaskan tentang gejala dan tanda klinis tumor kanker testis
2.      Menjelaskan tentang cara diagnosis kanker testis
3.      Menjelaskan tentang tatalaksana kanker testis

1.3  Manfaat
1.      Untuk akademisi : meningkatkan pengetahuan tentang kanker testis dan sebagai acuan kepustakaan ilmiah.
2.      Untuk praktisi : meningkatkan pengetahuan tentang kanker testis dan ketrampilan penanganannya.
3.      Untuk masyarakat : memberikan wawasan tentang gejala klinis  kanker testis.






BAB II
TINJAUAN PUSTAKA


2.1 Embriologi
Menjelang akhir bulan ke-2, testis dan mesonefros dilekatkan pada dinding belakang perut melalui mesenterium urogenital, dengan terjadinya degenerasi mesonefros pita pelekat tersebut berguna sebagai mesenterium untuk gonad. Kearah kaudal, mesenterium ini menjadi ligamentum genitalis kaudal. Sruktur lain yang berjalan dari kutub kaudal testis adalah gubernakulum yaitu pemadatan mesenkim yang kaya matriks ekstraseluar. Testis turun mencapai cincin inguinal interna pada bulan ketujuh, dan kemudian melewati kanalis inguinalis pada bulan kedelapan dan memasuki skrotum saat kelahiran.Selama proses penurunannya, testis diselubungi oleh perpanjangan peritoneum (prosessus vaginalis) yang mengarah ke skrotum fetal. Testis turun ke bawah di belakang prosessus vaginalis yang normalnya terobliterasi pada saat kelahiran membentuk pelapis testis paling dalam (tunica vaginalis). Faktor yang mengendalikan testis antara lain pertumbuhan keluar bagian ekstraabdomen gubernakulum menimbulkan migrasi intrabdomen, pertambahan tekanan intrabdomen yang disebabkan pertumbuhan organ mengakibatkan turunnya testis melalui canalis inguinalis dan regresi bagian ekstraabdomen gubernakulum menyempurnakan pergerakan testis masuk ke dalam skrotum. Proses ini dipengaruhi oleh hormon androgen dan MIS ( mullerian inhibiting substances).[1]

2.2. Anatomi, Fisiologi, dan Histologi
Testis merupakan organ yang berperan dalam proses reproduksi dan hormonal. Fungsi utama dari testis adalah memproduksi sperma dan hormon  androgen terutama testosteron. Sperma dibentuk di dalam tubulus seminiferus yang memiliki 2 jenis sel yaitu sel sertoli dan sel spermatogenik. Diantara tubulus seminiferus inilah terdapat jaringan  stroma tempat dimana sel leydig berada. Testis normal berukuran rata-rata 4×3×2,5 cm.[1]
Gambar 2.1 Anatomi testis[2]
Organ ini diliputi oleh suatu lapisan yang disebut dengan tunika albuginea, oleh suatu septa-septa jaringan ikat testis dibagi menjadi 250 lobus. Pada bagian anterior dan lateral testis dibungkus oleh suatu lapisan serosa yang disebut dengan tunika vaginalis yang meneruskan diri menjadi lapisan parietal, lapisan ini langsung berhubungan dengan kulit skrotum. Di sebelah posterolateral testis berhubungan dengan epididimis, terutama pada pool atas dan bawahnya. Testis terdapat di dalam skrotum yang merupakan lapisan kulit yang tidak rata dimana di bawahnya terdapat suatu lapisan yang disebut tunika dartos yang terdiri dari serabut-serabut otot.[1]
Gambar 2.2 : Anatomi Testis sisi lateral[3]
Testis mendapatkan darah dari beberapa cabang arteri, yaitu (1) arteri spermatika interna yang merupakan cabang dari aorta, (2) arteri deferensialis cabang dari arteri vesikalis inferior, dan (3) arteri kremasterika yang merupakan cabang arteri epigastrika. Pembuluh vena yang meninggalkan testis berkumpul membentuk pleksus Pampiniformis. Pleksus ini pada beberapa orang mengalami dilatasi dan dikenal sebagai varikokel.[4]
Peredaran darah testis memiliki keterkaitan dengan peredaran darah di ginjal karena asal embriologi kedua organ tersebut. Pembuluh darah arteri ke testis berasal dari aorta yang  beranastomosis di funikulus spermatikus dengan arteri dari vasa deferensia yang merupakan cabang dari arteri iliaka interna. Aliran darah dari testis kembali ke pleksus pampiniformis di funikulus spermatikus. Pleksus ini di anulus inguinalis interna akan membentuk vena spermatika. Vena spermatika kanan akan masuk ke dalam vena cava inferior sedangkan vena spermatika kiri akan masuk ke dalam vena renalis kiri. Saluran limfe yang berasal dari testis kanan mengalir ke kelenjar getah bening di daerah interaortacaval, paracaval kanan dan iliaka komunis kanan, sedangkan saluran limfe testis kiri mengalirkan isinya ke kelanjar getah bening paraaorta kiri dan daerah hilus ginjal kiri, paracaval kiri dan iliaka kiri. Sistem limfatik dari testis kanan sistem limfatik dari testis kiri Anatomi regio retroperitoneum.[1]
Gambar 2.3 : Ilustrasi Testis[5]

2.3. Definisi Kanker testis[5]
Kanker Testis adalah pertumbuhan sel-sel ganas di dalam testis (buah zakar), yang bisa menyebabkan testis membesar atau menyebabkan adanya benjolan di dalam skrotum (kantung zakar).
Kanker testikuler, yang menempati peringkat pertama dalam kematian akibat kanker diantara pria dalam kelompok umur 20 sampai 35 tahun, adalah kanker yang paling umum pada pria yang berusia 15 tahun hingga 35 tahun dan merupakan malignansi yang paling umum kedua pada kelompok usia 35 tahun hingga 39 tahun.
Kanker yang demikian diklasifikasikan sebagai germinal atau nongerminal. Tumor germinal timbul dari sel-sel germinal testis (seminoma, terakokarsinoma, dan karsinoma embrional); tumor germinal timbul dari epithelium.
Klasifikasi patologik tumor testis menurut WHO:
I. Tumor sel bening:
A.    Tumor dengan satu pola histologik:
1. Seminoma
2. Seminoma spermatositik
3. Karsinoma embrional
4. Yolk sac tumor (Karsinoma embrional tipe infantile)
5. Teratoma:
a. Matur
b. Imatur
c. Dengan transformasi maligna

B.  Tumor dengan lebih dari satu pola histoligik:
1. Karsinoma embrional plus teratoma (teratokarsinoma)
2. Kariokarsinoma dan tipe lain apapun (perinci tipe-tipenya)
3. Kombinasi lain (perinci)

II. Tumor stromal-Tali kelamin:
A. Bentuk berdiferensiasi baik:
1.      Tumor sel leydig
2.      Tumor sel sertoli
3.      Tumor sel granulose
B. Bentuk campuran (perinci)
C. Bentuk berdiferensiasi tidak lengkap
Sebagian besar neoplasma adalah germinal, dengan sekitar 40% adalah seminoma. Seminoma cenderung untuk tetap setempat, sementara tumor nonseminomas tumbuh cepat. Penyebab tumor testikuler tidak diketahui, tetapi kriptokhidisme, infeksi, dan faktor-faktor genetic dan endokrin tampak berperan dalam terjadinya tumor tersebut.
Risiko kanker testikuler adalah 35 kali lebih tinggi pada pria dengan segala tipe testis yang tidak turun ke dalam skrotum dibanding dengan populasi umum. Tumor testis biasanya malig-nan dan cenderung untuk bermetastasis lebih dini, menyebar dari testis ke dalam nodus limfe da-lam retroperineum dan ke paru-paru.


2.4. Epidemiologi
Kanker testis merupakan keganasan yang jarang, nilainya berkisar 1-2% dari semua tumor pada pria [6]. Namun, menjadi masalah global karena insidennya meningkat di seluruh dunia, terutama di populasi putih Kaukasia [7-12], kejadian ini terjadi terutama pada pria muda, dan dapat disembuhkan pada kebanyakan kasus. Kanker testis merupakan kanker yang paling umum pada pria muda (usia 15-34 tahun) dan menimbulkan morbiditas pada usia tersebut sebagai populasi terbanyak di seluruh dunia [13,14], 95% dari semua kanker testis adalah tumor sel germinal (GCT), dengan pembagian kira-kira sama antara seminoma dan nonseminoma GCT (NSGCT). Biasanya, usia puncak pria dengan bawaan seminoma adalah 30-40 tahun, dibandingkan dengan 20-30 tahun untuk NSGCT [15].

Tabel 1: Tingkat insiden sesuai usia (per 100 000) dari kanker testis selama 30 tahun dari negara-negara yang dipilih.
Telah ada peningkatan kejadian kanker testis di banyak negara Barat selama 40 tahun terakhir (Tabel 1) [13,16] dan kejadian global kanker testis telah dua kali lipat selama tiga dekade terakhir [9,15,16] . Tingkat kejadian pada usia dinyatakan sebagai jumlah kasus baru per 100 000 orang-tahun. Adanya variasi geografis ditandai dengan tingkat kejadian untuk kanker testis, mulai dari nilai terendah 0.5/100 000 di Mesir sampai tertinggi 9.2/100 di Denmark (Tabel 1) [13,16]. Untuk populasi terbesar, kejadian seminoma sedikit lebih besar dari nonseminoma [17]. Tidak ada bukti yang jelas dari peningkatan insidensi di kalangan Singapore Chinese, di mana tingkat kejadiannya hampir tidak berubah selama 30 tahun terakhir (Tabel 1). Insiden kanker testis terus meningkat di hampir semua populasi di seluruh dunia selama 40 tahun terakhir, peningkatannya menguat dan paling konsisten di antara kejadian pada populasi [17]. Berlawanan dengan tren dalam insiden, tingkat kematian akibat kanker testis telah menurun di negara-negara Eropa, terutama disebabkan munculnya rejimen kemoterapi dan pendekatan multidisiplin untuk manajemen kanker testis [18].

2.5. Faktor Resiko

1. Kriptorkismus

Kriptorkismus, juga disebut sebagai maldescended, adalah kegagalan penurunan dari salah satu atau kedua testis ke dalam skrotum. Yang pertama testis berkembang dalam perut sebelum lahir dan kemudian biasanya turun ke skrotum. Kriptorkismus merupakan faktor risiko yang paling mapan untuk kanker testis [ 19-26 ]. Ada resiko empat sampai delapan kali lebih besar terkena kanker testis dengan kriptorkismus [ 19,20,24,25 ].
Penelitian telah menunjukkan bahwa perkembangan sel germinal dalam testis yang tidak turun setelah tahun pertama sejak lahir, yang menyebabkan subfertility dan pengembangan karsinoma in-situ, predisposisi pasien dengan risiko keganasan [ 27 ]. Mekanisme kriptorkismus ini memberikan kontribusi terhadap perkembangan keganasan menjadi tidak jelas, meskipun dua teori telah dikemukakan oleh banyak ahli, diantaranya: (i) bahwa kriptorkismus dan kanker testis memiliki penyebab yang sama (teori intrauteri), dan (ii) testis dengan letak abnormal merupakan testis yang mengalami kondisi lingkungan yang merugikan yang memprovokasi terjadinya perkembangan kearah keganasan (teori posisi). Sebuah meta-analisis memperkirakan bahwa kriptorkismus dikaitkan dengan peningkatan risiko relatif kanker testis dari 4,8 kali untuk testis ipsilateral [ 28 ]. Pettersson et al [. 29 ] menilai, dalam studi kohort yang melibatkan 16 pria yang memiliki 983 orkidopeksi untuk kriptorkismus, usia orkidopeksi dan risiko kanker testis. Bagi pasien yang memiliki orkidopeksi sebelum usia 13 tahun, risiko relatif kanker testis adalah 2,23 dibandingkan dengan populasi umum Swedia. Risiko relatif kanker testis adalah 5,4 untuk pasien yang memiliki orkidopeksi pada ≥ 13 tahun. Walsh et al [. 30 ] pada studi sistematis dan meta-analisis melakukan lima observasi dan menyimpulkan bahwa risiko kanker testis adalah 3,5-6 kali lebih tinggi jika orkidopeksi tertunda melampaui 11 tahun, atau tidak dilakukan sama sekali. Sebaliknya, Myrup et al [. 31 ] melaporkan bahwa sementara ada, dalam studi kohort Denmark, peningkatan 3,7 kali lipat risiko kanker testis pada pria dengan kriptorkismus yang orkidopeksi dibandingkan dengan laki-laki Denmark pada umumnya, peningkatan risiko tidak berbeda dengan usia pasien yang tidak di operasi.
Para penulis berpendapat bahwa hasil mereka mendukung teori-intrauteri sebagai penjelasan yang lebih diminati untuk hubungan antara kriptorkismus dan risiko kanker testis. Kedua teori posisi dan teori-intrauteri tetap berlaku, dan masuk akal untuk menunjukkan hubungan antara kriptorkismus dan kanker testis.

 

2. Tumor Testis Kontralateral

Sebuah riwayat testis GCT merupakan faktor risiko mapan untuk berkembangnya kanker testis di testis kontralateral, dengan bukti-bukti kuat yang muncul dari tiga studi di Denmark, Selandia Baru, Perancis dan Amerika Serikat [ 32-35 ]. Studi di Belanda dan Selandia Baru melaporkan peningkatan risiko tumor testis kontralateral pada pasien yang sebelumnya menderita kanker testis, dengan risiko relatif 24,5-27,5 [ 32,33 ].
Selanjutnya, Fossa et al [. 35 ] melaporkan, dalam studi kohort berbasis populasi yang melibatkan 29 515 orang di Amerika Serikat, bahwa pasien memiliki risiko 12,4 kali lebih besar untuk terjadinya kanker testis kontralateral metachronous daripada populasi umum. Risiko 15 tahun kumulatif yang menunjukkan kanker testis kontralateral metachronous adalah 1,9% dan periode risiko terbesar adalah 5 tahun pertama setelah diagnosis awal kanker testis. Dalam studi Denmark, risiko kumulatif untuk kanker testis kontralateral metachronous adalah 5-6% [ 32 ]. Dikombinasikan dengan prevalensi karsinoma in-situ di testis kontralateral adalah 4,9-5,4% [ 36,37 ], penulis merekomendasikan biopsi testis kontralateral [ 32 ]. Sebaliknya, risiko kumulatif tumor testis kontralateral metachronous dalam studi USA adalah sederhana, dan menunjukkan hasil yang sangat baik terhadap nilai kelangsungan hidup jangka panjang, penulis tidak merekomendasikan biopsi testis kontralateral pada saat orkidektomi [ 35 ]. Sementara tidak ada perbedaan dalam kejadian tumor testis kontralateral metachronous pada pasien yang disajikan dengan seminoma dan dengan NSGCT, kejadian tumor testis kontralateral metachronous adalah nyata dipengaruhi oleh usia pasien pada saat presentasi [ 34 ]. Pasien dengan seminoma dan usia <30 tahun adalah 2,6-4,8 kali lebih mungkin untuk memiliki tumor testis kontralateral metachronous dibandingkan pasien yang disajikan dengan seminoma saat berusia> 30 tahun [ 34,35 ].

 

3. Riwayat keluarga dengan kanker testis

Studi pada keluarga telah memberikan bukti yang kuat dan mendukung adanya peran terhadap kerentanan pewarisan untuk kanker testis. Data dari database kanker pada keluarga telah menunjukkan bahwa anak-anak yang ayahnya menderita kanker testis memiliki empat kali risiko kanker testis, dan saudara-saudara dari pasien dengan kanker testis memiliki delapan kali resiko kanker testis [ 38-40 ]. Penelitian, terutama dari Finlandia, Swedia dan Denmark, di mana kejadian kanker testis rendah, menengah dan tinggi, masing-masing, mendukung hipotesis gen bersama ketimbang paparan lingkungan bersama. Rapley et al.[41-43 ] Dilaporkan adanya bukti untuk kerentanan gen pada kanker testis, TGCT1 terletak pada kromosom Xq27, meskipun tidak mungkin gen kanker menyebabkan kerentanan pada testis satunya. Selain itu, lokus ini juga mungkin rentan terhadap kriptorkismus [ 43 ]. Daerah kandidat lain linkage ditemukan di 2p23, 3p12 3q26, 12p13-Q21, Q23 18q21-, meskipun, tidak ada yang secara statistik signifikan. Data menunjukkan bahwa beberapa lokus berkontribusi untuk terhadap kerentanan GCT dan tidak ada lokus yang menjelaskan sebagian besar dari risiko kekeluargaan [ 44 ].
Faktor genetik yang tepat yang bertanggung jawab untuk kanker testis familial belum diidentifikasi dan Konsorsium Internasional Kanker Testis terus merekrut peserta untuk studi tentang faktor genetika kanker testis pada keluarga.

 

4. Faktor Ketidaksuburan Pria / disgenesis gonad

Kejadian kanker testis telah meningkat selama 30 tahun terakhir, dan telah terjadi penurunan nilai kualitas kesuburan dan air mani antara laki-laki di negara-negara Barat [ 45 ]. Selanjutnya, beberapa penelitian telah menunjukkan adanya hubungan antara infertilitas laki-laki atau subfertility dan kanker testis [ 46-49 ].
Namun, ada perdebatan mengenai mekanisme yang mendasari hubungan ini, yaitu apakah subfertility merupakan faktor risiko untuk kanker testis, apakah mereka berbagi etiologi yang sama, atau apakah subfertility merupakan bagian dari jalur keganasan itu sendiri. Raman et al [. 48 ] melaporkan bahwa pria infertil dengan analisis semen yang abnormal memiliki insiden 20 kali lebih besar terkena kanker testis dibandingkan dengan populasi umum. Sementara studi mendukung adanya faktor etiologi antara subfertility dan kanker testis, faktor-faktor penyebab yang tepat belum ditetapkan secara menyeluruh. Paparan estrogen yang meningkat diduga mempengaruhi perkembangan gonad intra-uteri, dan akhirnya menyebabkan gangguan spermatogenesis dan / atau tumorigenesis [ 50 ]. Sumber kelebihan estrogen mungkin eksogen, endogen atau lingkungan [ 51,52 ]. Ada jumlah yang sebanding studi kasus-kontrol yang mendukung peningkatan risiko kanker testis pada anak laki-laki yang ibunya terkena estrogen eksogen namun ada penelitian yang membantah hal ini [ 46,53 ]. Studi epidemiologis menyelidiki peran estrogen endogen telah dikonfirmasi tidak memiliki asosiasi atau tidak meyakinkan, dan hanya sangat sedikit telah menunjukkan hubungan terbalik [ 46 ]. Sebuah penelitian menunjukkan bahwa bedasarkan studi epidemiologi yang sedang berlangsung di daerah ini, teori-estrogen yang berlebihan muncul secara konsisten terhadap jalur tumorigenesis kanker testis yang ada dan karena itu telah mendapat beberapa pengakuan [ 54].

5. Testis Microlithiasis

Etiologi microlithiasis testis tidak diketahui. Prevalensi microlithiasis testis telah dilaporkan menjadi 0,6-6,7%, namun nilai-nilai ini terutama didasarkan pada studi retrospektif pada populasi selektif yang menjalani ultrasonografi testis[ 55-57 ]. Prevalensi microlithiasis testis pada pria tanpa gejala berusia 18-35 tahun dilaporkan sebanyak 5,6% dalam studi prospektif sukarelawan sehat [ 58 ]. Selanjutnya, De Castro et al [. 59 ] melaporkan 5-tahun mereka tindak lanjut dari studi skrining calon laki-laki tanpa gejala dengan microlithiasis testis di mana hanya satu peserta berkembang ke arah kanker testis. Microlithiasis testis sangat umum dalam populasi masyarakat dan kebanyakan pria dengan microlithiasis testis tidak akan memiliki, atau berkembang  ke arah kanker testis [ 60 ]. Meskipun microlithiasis testis umumnya hadir pada pasien dengan kanker testis, tidak ada bukti berkualitas tinggi untuk mendukung premis bahwa microlithiasis testis merupakan faktor risiko untuk kanker testis.

 

6. Faktor lain

Vasektomi: Studi populasi Celtic di Irlandia dan Skotlandia mengemukakan peningkatan risiko kanker testis setelah vasektomi [ 61-63 ]. Namun, sejak saat itu, beberapa penelitian, termasuk satu studi kohort dalam jumlah besar dan satu studi kasus-kontrol, tidak menemukan hubungan antara vasektomi dan kanker testis [ 69-71 ].
Trauma skrotum: Ada beberapa laporan yang menghubungkan trauma pada testis atau skrotum dengan kanker testis, namun bukti epidemiologi tidak meyakinkan karena kesulitan dalam menilai trauma retrospektif karena bias pelaporan yang melekat, seperti over-pelaporan oleh pasien yang tahu bahwa mereka memiliki testis Kanker [ 67 ]. Merzenich et al. Menyimpulkan, atas dasar penelitian berbasis populasi mereka kasus kontrol multisenter, bahwa tidak ada bukti yang mendukung hubungan antara trauma skrotum dan kanker testis [ 67 ].
Hernia inguinalis: Tidak ada bukti kuat untuk mendukung hubungan antara hernia inguinalis dan kanker testis. Beberapa studi kasus-kontrol menunjukkan hubungan antara hernia inguinalis dan peningkatan risiko kanker testis, tetapi banyak penelitian hampir dua kali gagal untuk menunjukkan hubungan ini [ 28 ].
Diet: Sebuah hubungan antara diet dan risiko kanker testis telah diusulkan dan dipelajari dalam beberapa konteks, yang paling menonjol di antaranya telah menjadi asosiasi asupan lemak tinggi dan produk susu, terutama di masa kanak-kanak, dengan peningkatan risiko kanker testis [ 68-71 ]. Garner et al [. 71 ] meneliti hubungan antara 17 kelompok makanan dan risiko kanker testis, dan menemukan bahwa makan siang daging dan keju secara signifikan terkait dengan peningkatan risiko kanker testis. Namun, asupan susu tidak berhubungan dengan peningkatan risiko, bertentangan dengan temuan sebelumnya oleh orang lain [ 68,70 ]. Meskipun hubungan antara konsumsi daging, terutama daging merah, dan peningkatan risiko kanker testis telah diberitakan sebelumnya, hubungan ini tidak tercermin dalam studi oleh Garner et al [. 71 ] dan Ganmaa et al. [ 70 ]. Tingginya kadar makan siang daging, daging yaitu diproses termasuk daging, sosis dan hotdog, yang ditemukan terkait dengan peningkatan risiko kanker testis [ 71 ]. Secara keseluruhan, hubungan antara faktor diet dan resiko kanker testis masih agak bertentangan dan memerlukan penelitian lebih lanjut.
Merokok: Beberapa studi telah meneliti hubungan antara ibu nyang merokok dan risiko kanker testis pada anak laki-laki, dengan hasil yang bertentangan [ 72-76 ]. Namun, sebuah studi kasus-kontrol baru ini menerbitkan negara-negara Nordik dan meta-analisis dari tujuh studi epidemiologi menunjukkan ada hubungan antara merokok ibu selama kehamilan dan risiko kanker testis pada keturunan laki-laki [ 77 ].

2.6. Patogenesis
Karsinogenesis dari Germ Cell Tumor (GCT) kurang dipahami. Seperti telah disebutkan sebelumnya, GCT testis berkembang dari lesi prekursor, intratubular germ cell neoplasia (ITGCN), yang, pada gilirannya, tampaknya berkembang dari sel-sel germinal yang ditangkap oleh orgonocytes primordial yang gagal untuk berdiferensiasi menjadi prespermatogonia. Sel-sel ini diperkirakan untuk kemudian tertidur sampai setelah pubertas ketika mereka dirangsang oleh kadar testosteron meningkat.[78]
Insiden meningkat dari kanker testis yang dimulai pada paruh pertama abad ke-20 dan telah disertai dengan peningkatan insiden gangguan reproduksi laki-laki, seperti hipospadia, kriptorkismus, dan subfertility. Temuan ini memuat hipotesis bahwa kanker testis dan gangguan lainnya semua dihasilkan dari sindrom disgenesis testis, yang pada gilirannya berasal dari lingkungan dan / atau faktor gaya hidup dan kerentanan genetik. Faktor lingkungan atau gaya hidup tertentu belum ditetapkan. Hipotesis paparan estrogen yang meningkat pralahir telah sitetapkan sebagai faktor risiko, tapi ini kontroversial. Ada bukti kuat bahwa penurunan aktivitas androgen dapat mengakibatkan fitur sindrom disgenesis testis, termasuk kriptorkismus, hipospadia, dan gangguan spermatogenesis, tetapi hubungan langsung antara berkurangnya sinyal androgen dan ITGCN atau GCT tetap menjadi sebuah hipotesis. [78]
Bukti faktor lingkungan dan gaya hidup berkontribusi terhadap kanker testis termasuk peningkatan pesat dalam insiden serta temuan bahwa risiko pada generasi kedua imigran mirip dengan yang di negara kelahiran mereka. Selain itu, ibu dari anak-anak dengan kanker testis (tapi bukan pasien kanker testis itu sendiri) telah ditemukan memiliki tingkat darah lebih tinggi dari polutan organik tertentu dibandingkan dengan ibu-ibu lain. Bukti untuk faktor genetik meliputi pengelompokan kanker testis pada beberapa keluarga, perbedaan ekstrim dalam tingkat kanker testis dalam warna hitam dan putih Amerika, dan menemukan lokus kerentanan pada kromosom 5, 6, dan 12 dalam studi kasus kontrol. Selain itu, polimorfisme spesifik gen tertentu, termasuk ligan gen encoding c-KIT, telah dikaitkan dengan peningkatan risiko kanker testis. Gonocytes tergantung pada c-KIT ligan untuk bertahan hidup, dan gen untuk protein ini terletak pada lengan pendek kromosom 12. Sekitar 70% dari GCT memiliki salinan ekstra kromosom 12 dalam bentuk 12p isochromosome (i [12p]). Dengan demikian hubungan antara mutasi atau polimorfisme pada gen ini dan GCT memiliki masuk akal biologis. [78]
Salah satu fitur yang paling mencolok dari GCT adalah sensitivitas mereka untuk kemoterapi berbasis cisplatin, yang memungkinkan obat dalam sebagian besar pasien dengan penyakit metastasis luas. Dasar biologis khusus dari kerentanan akut terhadap kemoterapi tetap tidak bisa secara sempurna dipahami tetapi diperkirakan memiliki hubungan erat antara GCT dan sel induk embrional dan gonocytes, yang memiliki ambang yang rendah untuk mengalami apoptosis dalam menanggapi kerusakan DNA. GCT memiliki tingkat intrinsik tinggi wild type TP53 protein (yang memainkan peran dalam mediasi penangkapan siklus sel dan apoptosis), dan mutasi TP53 pada GCT jarang terjadi, namun perbedaan belum konsisten ditemukan pada status TP53 ketika dibandingkan sel germinal chemosensitive dan chemoresistant tumor. Demikian pula, ekspresi protein BCL2 menimbulkan nilai antiapoptotic yang rendah pada tumor sel germinal tetapi BCL2 tidak membedakan jalur sel chemosensitive dan chemoresistant. Analisis ekspresi gen telah menemukan upregulation gen yang banyak memfasilitasi terjadinya apoptosis, termasuk FASLG, TNFSF10 dan BAX, sedangkan BCL2 terbukti menurunkan regulasi. Pola ekspresi gen pada pemeriksaan G1/S-phase di GCT muncul dan menginduksi terjaidnya apoptosis (Schmelz et al, 2010). Selain itu, GCT kurang transporter untuk mengekspor cisplatin dari sel dan memiliki kemampuan yang kurang untuk memperbaiki cisplatin-induced terhadap kerusakan DNA. Meskipun demikian, sebagian kecil dari GCT tahan terhadap kemoterapi dan dasar perlawanan yang konstan tidak jelas, meskipun mismatch perbaikan DNA berkurang, tidakstabilnya mikrosatelit, dan mutasi BRAF telah dikaitkan dengan kegagalan pengobatan. [78]
Sampai dengan 10% dari GCT yang extragonadal. Ada dua pesaing utama, teori mengenai patogenesis GCT extragonadal. Yang pertama Hipotetis bahwa mereka berasal dari sel germinal yang mismigrated sepanjang punggungan genital dan mampu bertahan hidup di lingkungan extragonadal. Teori kedua mengusulkan reverse migrasi dari testis ke lokasi extragonadal.
NSGCT mediastinum Primer berbeda dalam beberapa cara dari orang-orang yang berasal dari testis atau retroperitoneum. Pertama, mereka kurang sensitif terhadap kemoterapi dan memiliki prognosis buruk dengan kelangsungan hidup 5 tahun secara keseluruhan sekitar 45%. NSGCT mediastinum lebih cenderung memiliki yolk sac tumor komponen dan dengan demikian dikaitkan dengan peningkatan dalam serum α-fetoprotein (AFP). Mereka juga berhubungan dengan sindrom Kleinfelter dan dengan keganasan hematologi yang membawa salinan tambahan dari lengan pendek kromosom 12, seperti yang terlihat dalam GCT dewasa. Sebaliknya, seminoma mediastinum membawa prognosis yang mirip dengan seminoma testis. GCT retroperitoneal primer yang bisa dibedakan secara biologis dari GCT testis dan membawa prognosis yang sama.[78-79]

2.7. Klasifikasi (rujukan WHO)[79]
2.7.1. Tumor sel germinal
Merupakan tumor testis yang paling sering ditemukan sebagi tumor primer dan sisanya adalah neoplasma non germinal ( tumor sel leydig, tumor sel sertoli dan gonadoblastoma). Sejumlah sistem klasifikasi dikemukakan untuk membagi tumor sel germinal testis. Sistem klasifikasi berdasarkan tipe histologi dari tumor ini adalah sistem klasifikasi yang paling banyak digunakan.
Berdasarkan klasifikasi ini tumor sel germinal testis dapat dibagi menjadi:
• Seminoma
• Non seminoma germ cell tumor ( NSGCT ), termasuk di dalamnya adalah karsinoma sel embrional, teratoma, koriokarsinoma dan tumor-tumor campuran ( mixed tumors )

1. Seminoma
Terdapat 3 subtipe gambaran histologis dari tumor jenis ini yaitu :

• Seminoma klasik
Disebut juga dengan typical seminoma. Seminoma jenis ini meliputi sebagian besar dari seluruh kasus seminoma ( 85%), sering terjadi pada dekade ke 4 kehidupan namun tidak jarang terjadi pada pria usia 40 atau 50 tahunan. Secara makroskopis tampak nodul berwarna abu-abu yang menyatu dan secara mikroskopis telihat lapisan yang monoton pada sel besar dengan sitoplasma yang jernih dengan inti sel padat. Dapat terlihat sel-sel sinsitiotrofoblas dan ini sesuai dengan jumlah kasus seminoma yang disertai dengan adanya produksi hCG.

• Seminoma anaplastik
Untuk mendiagnosis adanya seminoma anaplastik secara mikroskopis harus ditemukan 3 atau lebih sel mitosis perlapang pandang besar dan sel-selnya memperlihatkan adanya inti sel pleomorfisme dengan derajat yang lebih tinggi dari subtipe seminoma klasik. Seminoma anaplastik cenderung memperlihatkan staging yang lebih tinggi dari pada subtipe seminoma klasik. Sejumlah tanda yang menunjukkan bahwa seminoma ini lebih agresif dan lebih memiliki potensi menyebabkan kematian dari pada jenis klasik. Hal tersebut dapat dilihat bahwa seminoma jenis ini : (a) Memiliki aktifitas mitotik yang lebih besar, (2) rate of invasion yang lebih tinggi, (3) rate of metastase yang tinggi dan (4) Produksi tumor marker terutama hCG yang lebih tinggi.

• Seminoma spermatositik
Secara mikroskopis tampak variasi ukuran sel dan karakter sel berupa perbedaan pada kekeruhan sitoplasma sel dan terlihat adanya inti sel yang bulat dengan kromatin yang memadat. Lebih dari setengah pasien dengan seminoma spermatositik berumur lebih dari 50 tahun.

2. Nonseminoma
Terdapat 5 tipe tumor yang merupakan bagian dari tumor sel germinal nonseminoma, yaitu :

a. Karsinoma sel embrional
Terdapat 2 varian / tipe dari karsinoma sel embrional yaitu :
• Tipe dewasa
Secara histologis memperlihatkan tanda pleomorfisme dan batas sel yang tidak jelas. Secara makroskopis kemungkinan tampak terlihat adanya hemoragis yang luas dan jaringan yang nekrotik.
• Tipe infantil
Dengan nama lain tumor yolk sac atau tumor sinus endodermal adalah tumor testis tersering pada bayi dan anak-anak. Jika ditemukan pada usia dewasa maka kemungkinan merupakan tipe campuran dan sangat mungkin jenis tumor yang menghasilkan AFP. Secara mikroskopis terlihat adanya sitoplasma yang mengalami vakuolisasi oleh adanya deposit lemak dan glikogen. Tampak pula terlihat badan embrioid dan terlihat seperti embrio berusia 1-2 minggu yang terdiri dari sebuah ruang yang dikelilingi oleh sinsitiotrofoblas dan sitotrofoblas.

b. Teratoma
Tumor ini dapat ditemukan pada anak-anak dan dewasa. Tumor ini terdiri lebih dari satu lapisan sel germinal yang bervariasi dalam maturasi dan diferensiasinya. Secara makroskopis tumor ini tampak berlobus-lobus dan terdiri dari beragam ukuran kista-kista yang berisi materi gelatin dan musin.
Secara mikroskopis, ektoderm mungkin ditunjukkan oleh jaringan neural dan epitel skuamosa, endoderm oleh saluran cerna, pankreas dan jaringan teratoma jenis matur memiliki gambaran struktur yang jinak yang berasal dari ektoderm, mesoderm dan endoderm, sedangkan teratoma jenis immatur terdiri dari jaringan primitif yang tidak terdiferensiasi pembentuk sistem respirasi sedangkan mesoderm ditunjukkan oleh otot polos atau otot lurik, jaringan kartilago dan tulang.

c. Koriokarsinoma
Keganasan ini terlihat sebagai sebuah lesi yang kecil dan biasanya terdapat suatu pendarahan pada bagian tengahnya. Secara klinis, koriokarsinoma merupakan keganasan yang agresif karena tumor ini menyebar luas secara hematogen lebih awal. Sebaliknya sebuah lesi kecil pada testis dapat merupakan suatu metastase jauh dari keganasan di tempat lain.


d. Mixed cell tumor
Yang termasuk dalam tumor jenis mixed cell adalah teratokarsinoma yang bercampur dengan teratoma dan karsinoma sel embrional. Pengobatan untuk karsinoma mixed cell yang terdiri campuran antara seminoma dan nonseminoma sama dengan pengobatan untuk tumor nonseminoma saja.

e. Karsinoma in situ
Pasien dengan tumor testis satu sisi memiliki karsinoma in situ pada testis sisi yang lainnya.

2.7.1.1. Pemeriksaan penunjang
a.       Alat diagnostik
Tes yang tersedia saat ini meliputi: pengambilan sampel darah serial, sinar-X dada, CT Scan perut dan dada, USG perut, Magnetic Resonance Imaging (MRI), Positron Emission Tomography (PET) scan dan pemeriksaan lain yang spesifik, tergantung pada kecurigaan klinis.

b.      Serum tumor marker
Sejumlah penanda biokomia sangat diperlukan untuk mendiagnosis dan penatalaksanaan karsinoma testis, yaitu α-fetoprotein ( AFP ), human chorionic gonadotropin ( hCG ), dan lactic acid dehydrogenase ( LDH ). Alfa fetoprotein adalah suatu glikoprotein dengan berat molekul 70.000 dalton dan waktu paruh 4-6 hari, ditemukan pada bayi usia kurang dari 1 tahun, meningkat dengan kadar yang bervariasi pada pasien dengan non seminoma germ cell tumor (NSGCT) dan tidak pernah ditemukan pada kasus seminoma. Human chorionic gonadotropin adalah suatu glikoprotein dengan berat molekul 38.000 dalton, waktu paruhnya 24 jam. Pada orang normal hormon ini secar signifikan tidak dianggap ada namun meningkat pada pasien dengan NSGCT dan dapat meningkat pada pasien seminoma. Lactic acid dehydrogenase adalah enzim intrasel dengan berat molekul 134.000 dalton. Enzim ini dalam keadaan normal ditemukan di otot (otot polos, lurik, dan jantung), hati, ginjal, dan otak. Kadarnya meningkat baik pada pasien NSGCT dan seminoma. Penanda lain yang juga dapat dipakai untuk menunjukkan adanya kanker testis adalah placental alkaline phospatase ( PLAP ) dan gamma-glutamyl transpeptidase (GGT)

c.       Pencitraan
CT scan memiliki keuntungan jelas atas limfografi dalam menilai penyakit metastasis retroperitoneal. Ini menawarkan sensitivitas 70-80% dalam penentuan keadaan node retroperitoneal. Akurasinya tergantung pada ukuran node, sensitivitas dan kenaikan nilai prediktif negatif dengan menggunakan ambang batas 3-mm untuk mendefinisikan metastasis node di zona pendaratan (54). Angka-angka sedikit menurun dalam tahap I dan II (55,56), dengan tingkat yang dari understaging dari 25-30% (57). Generasi baru dari CT scan tidak terlihat memperbaiki sensitivitas. Sebuah CT scan perut adalah wajib tetapi dapat dianggap opsional pada pria muda yang sangat ramping dan anak-anak, di antaranya USG harus dilakukan karena kurangnya lemak retroperitoneal. MRI menghasilkan hasil yang sama dengan CT scan dalam mendeteksi pembesaran nodal retroperitoneal (58). Sekali lagi, keberatan utama untuk penggunaan rutin adalah biaya tinggi dan akses terbatas. Namun demikian, MRI bisa sangat membantu ketika CT perut atau USG tidak meyakinkan (58), ketika CT scan merupakan kontraindikasi karena alergi terhadap media kontras atau ketika dokter atau pasien prihatin tentang dosis radiasi. MRI adalah Uji opsional dan saat ini tidak ada indikasi untuk penggunaan sistematis dalam pementasan kanker testis.
Chest X-ray adalah pemeriksaan thorax rutin. Sebuah dada antero-posterior dan lateral X-ray bisa dianggap pemeriksaan toraks hanya pada seminoma saat retroperitoneal dan panggul CT scan negatif (59). Sebuah dada CT scan merupakan cara yang paling sensitif untuk mengevaluasi dada dan node mediastinal. Eksplorasi ini harus direkomendasikan pada pasien dengan NSGCT karena sampai 10% kasus bisa hadir dengan subpleural kecil node yang tidak terlihat radiologis (1). The CT scan memiliki sensitivitas yang tinggi namun spesifisitas yang rendah (58). Sebuah dada CT adalah wajib pada semua pasien dengan NSGCT dan pada mereka dengan seminoma dan positif CT scan perut (59).
Belum ada cukup bukti yang mendukung penggunaan emisi positron-fluorodeoxyglucose-tomografi (FDG-PET) scan dalam tahap tumor testis awal, namun demikian dapat direkomendasikan dalam tindak lanjut dari seminoma pasca-kemoterapi massa sisa lebih besar dari 3 cm diputuskan untuk memutuskan Menunggu Waspada (WW) atau terapi pengobatan aktif (60-63).
Pemeriksaan lain, seperti otak atau tulang belakang CT, scan tulang atau USG hati, harus dilakukan jika ada kecurigaan metastase ke organ-organ ini. CT scan atau MRI tengkorak yang dianjurkan pada pasien dengan NSGCT dan luas paru metastasis. Tabel 2 menunjukkan uji direkomendasikan pada staging.

2.7.1.2. Klasifikasi prognostik
mencoba membuat standar staging secara klinis pada kanker testis, yaitu :
• T ( Tumor primer )
Tx : Tumor primer tidak dapat di nilai
T0 : Tidak ditemukan adanya tumor primer
Tis : kanker intratubular ( karsinoma in situ )
T1 : Tumor terbatas pada testis dan epididimis, tidak terdapat invasi ke
pembuluh darah
T2 : Tumor melewati tunika albugenia atau terdapat invasi ke pembuluh
darah
T3 : Tumor mencapai funikulus spermatikus
T4 : Tumor mencapai kulit skrotum
• N ( Kelenjar getah bening regional )
Nx : Adanya metastase ke kelenjar getah bening tidak dapaditentukan
N0 : Tidak terdapat metastase ke kelenjar getah bening
N1 : Terdapat metastase ke kelenjar getah bening dengan ukuran lesi
≤ 2 cm dan melibatkan ≤ 5 kelenjar geatah bening
N2 : Metastase > 5 kelenjar, ukuran massa 2-5 cm
N3 : Ukuran massa > 5 cm
• M ( metastase jauh )
Mx : Adanya metastase jauh tidak dapat ditentukan
M0 : Tidak terdapat metastase jauh
M1 : Ditemukan adanya metastase jauh
• S ( Tumor marker pada serum )
Sx : Tumor marker tidak tersedia
S0 : Nilai kadar tumor marker pada serum dalam batas normal
S1 : Nilai kadar Lactic acid dehydrogenase (LDH) <> 10 x normal atau hCG > 50.000 mlU/ml atau AFP> 10.000ng/ml

Stadium dan tingkat penyebaran karsinoma testis ( Peckham ).
Stadium Lokasi Tumor
I Tumor terbatas pada testis dan rete testis
IIA Tumor mengenai KGB retroperitoneal
III Tumor mengenai KGB supraklavikula atau mediastinum
IV Metastase ekstralimfatik

2.7.1.3. Gambaran Klinis Kanker Testis
Gejala yang paling sering muncul pada pasien dengan kanker testis adalah pembesaran testis yang berlangsung gradual yang tidak disertai dengan rasa nyeri. Penegakkan diagnnosis kanker testis diperlukan untuk memutuskan dilakukan terapi definitif ( orchidectomy ) dan sering kali pasien mengalami keterlambatan penegakkan diagnosis ( biasanya 3 – 6 bulan) dan ini berkaitan dengan insiden terjadinya metastase tumor. Adanya gejala nyeri akut pada testis ditemukan pada 10% kasus dan mungkin berhubungan dengan pendarahan intratestikuler atau oleh adanya proses iskemia/infark.[78-79]
Pasien mengeluh oleh suatu gejala yang diakibatkan penyebaran/metastase tumor. Keluhan nyeri punggung adalah keluhan tesering yang dirasakan penderita, keluhan ini akibat penyebaran tumor ke retroperitoneal. Gejala lain adalah batuk atau sesak yang disebabkan metastase ke paru, anoreksia,mual dan muntah (penyebaran ke retroduodenal), nyeri tulang (metastease ke tulang), dan pembengkakan pada ekstremitas inferior (oleh karena obstruksi vena cava) dan mungkin saja ditemukan massa di daerah leher (metastase ke kelenjar getah bening supraclavicula). Seringkali kelainan ini ditemukan secara tidak sengaja karena tidak ada keluhan apapun.  Gonadotropin yang mungkin disekresi oleh sel tumor dapat menyebabkan ginekomastia. Kadang keadaan umum merosot cepat dengan penurunan berat badan.[77]
Pada pemeriksaan fisik dengan melakukan pemeriksaaan bimanual ditemukannya masa atau pembesaran yang menyeluruh pada testis adalah tanda utama pada banyak kasus. Masa biasanya keras dan tidak menimbulkan nyeri tekan dan dapat dengan mudah dipisahkan dari epididimis. Seringkali tanda ini dikaburkan oleh adanya hidrocelle tapi dapat diatasi dengan pemeriksaan transluminasi pada skrotum.
Pemeriksaaan pada abdomen dapat ditemukan masa yang besar di daerah retroperitoneal. Perlu juga dilakukan pemeriksaan pada daerah supraclavucula, axilla dan inguinal.[79]

2.7.1.4. Penatalaksanaan
Prinsip penanganan pasien dengan tumor sel germinal adalah merujuk pada riwayat alamiah dari tumor, staging klinis dan efektifitas pengobatan. Tindakan orchiectomi radikal adalah tindakan bedah yang harus dilakukan. Apabila dari serangkaian pemeriksaan adanya kanker testis tidak dapat di singkirkan maka tindakan ini dapat dikerjakan.
Tindakan biopsi melalui skrotum atau membuka testis harus dihindari. Penatalaksanaan selanjutnya tergantung pada hasil pemeriksaan histopatologi dan staging tumor secara patologi.[81]

A. Penatalaksanaan tumor dengan staging I ( T1-T3, N0, M0, S0 )
Seminoma
Pasien yang secara klinis menunjukkan gejala dan tanda tumor yang terbatas pada testis, pemberian radiasi adjuvant terhadap kelenjar getah bening retroperitoneal dan kemoterapi adalah pilihan terapi paska orchiektomi. Radiasi adjuvan masih merupakan terapi pilihan pada penderita seminoam stage I ( T1-T3, N0, M0, S0 ) seperti juga pada jenis nonseminoma.
Dengan melakukan orchiektomi radikal dan radioterapi pada daerah retroperitoneal, paraaorta dan pelvis ipsilateral maka 95% seminoma stage I dapat sembuh. Seminoma merupakan tumor yang radiosensitif. Meskipun efek samping pemberian radiasi dosis rendah jarang terjadi tapi pada pemberian dalam jangka waktu lama pada beberapa laporan menunjukkan adanya infertilitas, komplikasi pada saluran cerna dan kemungkinan radiasi menginduksi timblnya keganasan lain.

Nonseminoma
Tindakan orchiektomi inguinal saja mampu menyembuhkan 60-80% pasien nonseminoma. Tindakan retroperitoneal lymph node dissection (RPLND) perlu dilakukan dengan tujuan terapi dan diagnostik. Penyebaran dapat terjadi pada kira-kira 30% pasien dengan nonseminoma yang secara klilnis masuk dalam staging I ( occult metastase ) sehingga pada klasifikasi patologi masuk dalam staging IIA. Tindakan RPLND dilakukan melalui thoracoabdominal approach.
Gambar 2.4 Orchiectomy dan Vasovasostomy kiri



B. Penatalaksanaan tumor dengan staging II ( N1-N3 )
Seminoma
Seminoma staging II ( stage IIA dan IIB ) memiliki angka kesembuhan (cure rate) 85 – 95 %. Termasuk dalam staging ini adalah pasien dengan tumor yang telah bermetastase ke daerah retroperitoneal yang berukuran tranversal kurang dari 5 cm dengan staging N1-N3. Sebagai terapi pilihan tumor pada staging II adalah radioterapi. Pada pasien dengan ukuran tumor di retroperitoneal lebih dari 5 cm (N3) kira-kira setengahnya akan bermetastase keluar regio tersebut. Perlu diperhatikan pasien-pasien dengan penyakit ginjal tapal kuda (hourse shoe kidney) dan inflammatory bowel disease maka terapi radiasi merupakan kontraindikasi dan kemoterapi adalah terapi pilihan pada pasien seminoma dengan kelainan ini. Obat-obat kemoterapi yang digunakan adalah bleomycin, etoposide dan cisplatin (BEP).

Nonseminoma
Retroperitoneal lymph node dissection (RPNLD) merupakan tindakan operasi yang standar dilakukan pada pasien dengan tumor nonseminoma stage IIA dan IIB yang pada hasil pemeriksaan tumor marker (AFP) normal, jika terdapat peningkatan kadarnya dalam darah dan timbul gejala dan tanda adanya kelaianan sistemik akibat metastase tumor maka terapi yang harus dilakukan adalah pemberian kemoterapi primer yang terdiri dari bleomycin, etoposide dan cisplatin (BEP), vinblastin, cyclophosphamide, dactinomicyn, bleomycin, dan cisplatin ( VAB-6 ) dan cisplatin-etoptoside.
Cisplatin diberikan sebanyak dua siklus jika ditemukan :
• Lebih dari 6 kelenjar getah bening terkena.
• Terdapat massa tumor yang berukuran lebih dari 2 cm.
• Adanaya tumor di luar kelenjar getah bening.
Jika terjadi kekambuhan maka pemberian cisplatin dapat dilakukan sebanyak 3-4 siklus.


C. Penatalaksanaan tumor dengan staging III ( T1-T4, N0-N3, M1-M2, S0-S3 )
Seminoma
Penatalaksanaan seminoama staging tinggi (high tumor burden) yang meliputi pasien dengan tumor yang telah mengalami penyebaran yang luas, ukuran tumor yang besar, terdapat metastase ke viseral dan kelenjar supradiafragma termasuk juga pasien yang masuk dalam staging IIC ( T1-T4, N0-N3, M1-M2, S0-S3 ) pemberian cisplatin dapat mengobati 60-70% pasien.
Terdapat pembagian seminoma pada staging ini berdasarkan respon terhadap pengobatan yaitu :
• Seminoma dengan prognosis baik
Pasien ini memiliki kemungkinan sembuh yang tinggi dengan respon terhadap terapi mencapai 88-95%. Regimen obat yang diberikan berupa etoposide dan cisplatin sebanyak 4 siklus atau dapat diberikan BEP sebanyak 3 siklus.
• Seminoma dengan prognosis buruk
Pasien dengan respon yang buruk terhadap kemoterapi memiliki respon rate sebesar 40% dan pasien ini dapat diberikan BEP sebanyak 4 siklus.

Nonseminoma
Pasien dengan massa tumor yang besar di daerah retroperitoneal (lebih dari 3 cm atau terdapat pada 3 slice CT-scan) atau terdapat metastase maka terapi dengan kemoterapi primer merupakan keharusan setelah dilakukan orchiektomi. Jika hasil pemeriksan tumor marker normal dan pemeriksan radiologi terlihat adanya massa maka harus dilakukan tindakan reseksi karena massa tersebut 20% merupakan sisa massa tumor, 40% adalah teratoma dan 40 % merupakan massa tumor yang mengalami fibrosis. Beberapa ahli menganjurkan tetap perlu dilakukan RPNLD karena lebih dari 10% kasus tetap ditemukan massa tumor, walaupun hasil kemoterapi menunjukkan hasil yang sangat baik perlu dilaukan evaluasi kadar tumor marker selama pemberian kemoterapi untuk mengetahui respon tumor terhadap pengobatan.


Orchiektomi radikal[81-82]
Indikasi dilakukannya orchiektomi radikal adalah pasien dengan kecurigaan adanya tumor testis. Kecurigaan tumor testis apabila pada pemeriksaan fisik ditemukan adanya massa yang irreguler yang berasal dari testis, tidak terdapat keluhan nyeri. Kecurigaan ini harus dipastikan melalui pemeriksaan Doppler ultrasonografi pada skrotum. Adanya tumor testis diperlihatkan oleh gambaran hipoekoik yang hipervaskuler pada lesi intratestikuler. Tindakan ini dilakukan untuk menentukan diagnosis histopatologi dan staging T.
Tindakan ini pada sebagian besar kasus memiliki morbiditas dan mortalitas yang rendah serta mampu mengontrol perkembangan tumor lokal. Tindakan orchiectomy dilakukan dengan anestesi umum ataupun anestesi lokal dan dapat dilakukan pada pasien-pasien rawat jalan. Pasien dalam posisi supine dengan skrotum ditempatkan dalam medan operasi yang steril. Dilakukan insisi oblique pada daerah inguinal kira-kira 2 cm di atas tuberculum pubicum dan dapat diperlebar sampai ke skrotum bagian atas untuk mengangkat tumor yang berukuran besar. Insisi pada fasia Camper dan Scarpa sampai ke aponeurosis obliqus eksternus dilanjutkan dengan menginsisi aponeurosis sesuai dengan arah seratnya sampai mencapai anulus inguinalis internus. Indentifikasi nervus ilioinguinalis dan funikulus spermatikus setinggi anulus inguinalis internus dibebaskan dan diisolasi dengan menggunakan klem atraumatik atau turniket penrose 0,5 inchi.[83]
Testis dan kedua tunika pembungkusnya dikeluarkan dari skrotum secara tumpul dengan hati-hati, jika akan dilakukan biopsa atau subtotal orchiectomy, pengeleluaran testis dari skrotum dilakukan sebelum membuka tunika vaginalis dan menginsisi jaringan testis. Orchiectomy radikal diakhiri dengan memasukkan funikulus spermatikus ke dalam anulus inguinalis internus dan meligasi pembuluh darah vas deferen dan funikulus spermatikus secara sendiri-sendiri. Dilakukan irigasi pada luka dan skrotum dan hemostasis lalu dapat dilalukan pemasangan protease testis. Selanjutnya dilakukan penutupan aponeurosis muskulus obliqus eksternus dengan benang prolene 2-0, fasia scarpa dijahit dengan benang absorble dan selanjutnya dilakukan penutupan kulit. Dressing dengan penekanan pada skrotum dapat meminimalisasi terjadinya udema paska operasi.
Komplikasi yang dapat terjadi pada pasien yang telah menjalani orchiektomi radikal adalah : Pendarahan, yang terlihat dengan adanya hematoma di skrotum atau reroperitoneal; Infeksi luka operasi; Trauma pada nervus ilioinguinal yang mengakibatkan terjadinya hipostesia pada tungkai ipsilateral dan permukaan lateral skrotum.[82-83]

2.7.1.5. Hasil dan Prognosis
Seminoma
Setelah dilakukan orchiektomi radikal dan pemberian radiasi eksterna, maka pada pasien seminoma stag I 5-years disease-fre surviva rate mencapai 95% dan 92-94% pada seminoma stag IIA. Pada pasien dengan staging yang lebih tinggi yang telah menjalani orchiektomi radikal yang diikuti dengan pemberian kemoterapi maka 5-years disease-fre surviva ratenya 35-75%.[56-60]

Nonseminoma
Pasien pada stag I yang menjalani orchiektomi radikal dan RPLND memiliki 5-years disease-fre surviva rate yang tinggi mencapai 96-100%. Pada pasien stag II dengan massa tumor yang kecil dan telah menjalani orkoiektomi radikal dan kemoterapi 5-years disease-fre surviva rate nya mencapai 90% sedangkan pasien pada stag ini tapi dengan massa tumor yang besar yang telah dilakukan orchiektomi radikal diikuti dengan kmoterapi dan RPLND memiliki 5-years disease-fre surviva rate sebesar 55-80%.[56-60]

Tindak lanjut
Semua pasien dengan kanker sel germinal memerlukan pengamatan secara teratur. Pasien yang telah menjalani tindakan RPLND atau radioterapi memerlukan pengamatan lanjutan setiap 3 bulan selama 2 tahun, lalu setiap 6 bulan selama 5 tahun selanjutnya setiap satu tahun. Pada setiap kunjungan haruslah dilakukan pemeriksaan fisik pada sisa testis, abdomen dan kelenjar getah bening sekitarnya, perlu pula dilakukan pemeriksaan laboratorium berupa pemeriksaan kadar AFP, hCG dan LDH. Selain itu perlu pula dilakukan pemeriksaan foto rontgen thorak dan abdomen. [60]

2.7.2. Tumor Testis Non Germinal[80-83]
Tumor testis non sel germinal hanya meliputi 5-6% dari seluruh kasus tumor testis. Terdapat 3 tipe tumor testis non sel germinal yaitu tumor sel leydig, tumor sel sertoli, dan gonadoblastoma.

1. Tumor sel leydig
Tumor sel leydig adalah tumor testis non sel germinal tersering yang dijumpai. Tumor ini 25% terjadi pada anak-anak, dangan 5-10% merupakan tumor bilateral. Terdapat jenis yang jinak dan ganas. Penyebab tumor jenis ini tidak diketahui dan tidak seperti pada tumor testis sel germinal yang dihubungkan dengan kriptokidisme maka tumor sel leydig tidak dikaitkan dengan kelainan tersebut. Tampak adanya lesi kecil yang berwarna kekuningan tanpa adanya gambaran hemoragi dan nekrosis. Terdapat sel-sel heksagonal yang granuler dengan sitoplasma yang berisi vakuola-vakuola lemak.
Temuan klinis yang dapat ditemukan pada penyakit ini berupa virilization pada pasien usia pra pubertas dan merupakan suatu tumor jinak. Pada pasien dewasa biasanya tidak bergejala meskipun pada 20-25% kasus terdapat adanya ginekomastia dan tumor bersifat ganas pada 10% kasus. Pada pemeriksaan laboratorium terdapat peningkatan kadar 17-ketosteroid serumdan urin dan juga kadar estrogen. Pemeriksaan 17-ketosteroid penting untuk membedakan jenis jinak dengan yang ganas, peningkatan 10-30 kali kadar enzim ini adalah pertanda untuk tumor ganas dan indikasi untuk dilakukan RPLND.
Terapi inisial dari tumor ini adalah orchiektomi radikal. Peran kemoterapi untuk tumor ini maih belum dapat ditentukan karena kasus tumor sel leydig sangatlah jarang. Progonosis tumor sel leydig jenis jinak sangat baik sedangkan untuk jenis yang ganas prognosisnya buruk.


2. Tumor sel sertoli
Tumor sel sertoli merupakan kasus yang sangat jarang, hanya meliputi kurang dari 1% dari seluruh kasus tumor testis. Dari seluruh kasus tumor sel sertoli 10% nya merupakan jenis ganas sedangkan sisanya merupakan lesi jinak. Pada lesi jinak terlihat sel-sel dengan gambaran yang baik seperti pada sel leydig normal sedangkan pada jenis ganas terlihat sel dengan batas-batas yang tidak jelas. Secara mikroskopis tampak sel-sel yang heterogen yang merupakan campuran dari sel epitel dan sel stroma.
            Pada pemeriksaan fisik ditemukan adanya massa tumor pada testis dan terjadi virilisasi pada penderita anak-anak. Pada 30% kasus ditemukan adanya ginekomastia pada pasien dewasa.
            Tindakan orchiektomi merupakan terapi awal untuk tumor ini dan RPLND diindikasikan untuk jenis tumor ganas. Peran kemoterapi dan radioterapi untuk tumor sel sertoli masih belum jelas.

3. Gonadoblastoma
Gonadoblastoma hanya meliputi 0,5% dari seluruh kasus tumor testis dan hampir selalu ditemukan pada pasien dengan disgenesis testis. Penderita tumor ini sebagian besar dijumpai pada usia dibawah 30 tahun. Manifestasi klinis yang terlihat pada kelainan ini berkaitan dengan keadaan yang mendasari timbulnya gonadoblastoma yaitu adanya disgenesis kelenjar gonad. Hal yang penting diperhatikan bahwa 4/5 pasien gonadoblasoma secara fenotip adalah wanita dan pada penderita pria murni biasanya menderita kriptokidisme dan hipospadia.
Terapi pilihan untuk gonadoblastoma adalah orchiektomi radikal. Jika ditemukan adanya disgenesis kelenjar gonad maka tindakan gonadektomi kontralateral selain dari pengangkatan kelenjar gonad yang terkena merupakan indikasi dari kelainan ini karena gonadoblastoma cenderung untuk mengenai kedua testis.



BAB III PENUTUP

3.1 Kesimpulan :
Kanker testis meskipun kasus yang relatif jarang, merupakan keganasan tersering pada pria kelompok usia 15 – 35 tahun. Perkembangan yang pesat dalam hal tehnik diagnosis, perkembangan pemeriksaan penanda tumor, pengobatan dengan regimen kemoterapi dan modifikasi tehnik operasi, berakibat pada penurunan angka mortalitas penderita kanker testis dari 50% pada 1970 menjadi kurang dari 5% pada 1997. Dengan mulai berkembangnya pengobatan yang efektif bahkan untuk pasien-pasien dengan keadaan lanjut, perhatian pada tumor testis telah beralih pada penurunan morbiditas dengan menentukan protokol pengobatan selektif pada setiap pasien.
            Perubahan pada filosofi penatalaksanaan tumor testis ini didasarkan pada penegetahuan mengenai perlunya membuat metoda terapi lapis kedua setelah metode terapi pilihan pertama gagal.
Prinsip penanganan pasien dengan tumor sel germinal adalah merujuk pada riwayat alamiah dari tumor, staging klinis dan efektifitas pengobatan. Tindakan orchiectomi radikal adalah tindakan bedah yang harus dilakukan. Apabila dari serangkaian pemeriksaan adanya kanker testis tidak dapat di singkirkan maka tindakan ini dapat dikerjakan.
Tindakan biopsi melalui skrotum atau membuka testis harus dihindari. Penatalaksanaan selanjutnya tergantung pada hasil pemeriksaan histopatologi dan staging tumor secara patologi.

3.2 Saran :
1.      Referensi tentang Kanker Testis mohon lebih dilengkapi di perpustakaan SMF Ilmu Bedah FK Unud/RSUP Sanglah
2.      Diperlukan penelitian lebih lanjut demi pengembangan ilmu pengetahuan.
3.      Diperlukan adanya prosedur tetap (protap) meskipun untuk kasus-kasus jarang untuk menghindari misdiagnostik dan peningkatan pelayanan di RS Sanglah.
DAFTAR PUSTAKA


1.      Sadler TW.Langman Embriologi Kedokteran: EGC;2002. Hlm 276-279.
2.      www.fortheloveoftestes.com, accessed on October 24th 2012.
3.      www.becomehealthynow.com, accessed on October 24th 2012.
4.      Purnomo, Basuki P. Dasar-dasar Urologi. Jakarta: Sagung Seto. 2003. 1, 10,
5.      www.informatics.jax.org, accessed on October 24th 2012.
6.      Bosl G, Motzer RJ. Testicular germ-cell cancer. N Eng J Med 1997; 337: 242–54
7.      Toledano MB, Jarup L, Best N, Wakefield J, Elliot P. Spatial variation and temporal trends of testicular cancer in Great Britain. Br J Cancer 2001; 84: 1482–7
8.      Gudbjartsson T, Magnusson K, Bergthorsson J et al. A Population-based analysis of increased incidence and improved survival of testicular cancer patients in Iceland. Scand J Urol Nephrol 2003; 37: 292–8
9.      Huyghe E, Matsuda T, Thonneau P. Increasing incidence of testicular cancer worldwide: a review. J Urol 2003; 170: 5–11
10.  McGlynn KA, Devesa SS, Sigurdson AJ, Brown LM, Tsao L, Tarone RE. Trends in the incidence of testicular germ cell tumours in the United States. Cancer 2003; 97: 63–70
11.  Richiardi L, Bellocco R, Adami H et al. Testicular cancer incidence in eight northern European countries: secular and recent trends. Cancer Epidemiol Biomarkers Prev 2004; 13: 2157–66
12.  Huyghe E, Plante P, Thonneau PF. Testicular cancer variations in time and space in Europe. Eur Urol 2007; 51: 621–8
13.  Parkin DM, Whelan SL, Ferlay J, Storm H. Cancer Incidence in Five Continents, Vol I to VIII. IARC Cancerbase No. 7, Lyon: 2005. CancerMondial website. Available at: http://www-Departmentiarc.fr/CI5_IX_frame.htm. October 24th 2012.
14.  Wu X, Groves FD, McLaughlin CC, Jemal A, Martin J, Chen VW. Cancer incidence patterns among adolescents and young adults in the United States. Cancer Causes Control 2005; 16: 309–20
15.  Stone JM, Sandeman TF, Ironside P, Cruickshank DG, Mathews JP. Time trends in accuracy of classification of testicular tumours, with clinical and epidemiological implications. Br J Cancer 1992; 66: 396–401
16.  Curado MP, Edwards B, Shin HR et al. eds. 2007 Cancer Incidence in Five Continents , Vol. IX. IARC Scientific Publications no. 160, Lyon: IARC CancerMondial website. Available at: http://www-Departmentiarc.fr/CI5_IX_frame.htm. October 24th 2012.
17.  Purdue MP, Devesa SS, Sigurdson AJ, McGlynn KA. International patterns and trends in testis cancer incidence. Int J Cancer2005; 115: 822–7
18.  Bray F, Richiardi L, Ekbom A, Pukkala E, Cununkova M, Moller H. Trends in testicular cancer incidence and mortality in 22 European countries: continuing increases in incidence and declines in mortality. Int J Cancer 2006; 118: 3099–111
19.  Chilvers C, Dudley NE, Gough MH, Jackson MB, Pike MC. Undescended testis: the effect of treatment on subsequent risk of subfertility and malignancy. J Pediatr Surg 1986; 21: 691–6
20.  Giwercman A, Grindsted J, Hansen B, Jensen OM, Skakkebaek NE. Testicular cancer risk in boys with maldescended testis: a cohort study. J Urol 1987; 138: 1214–6
21.  Benson RC Jr, Beard CM, Kelalis PP, Kurland LT. Malignant potential of the cryptorchid testis. Mayo Clin Proc 1991; 66: 372–8
22.  Pinczowski D, McLaughlin JK, Lackgren G, Adami HO, Persson I. Occurrence of testicular cancer in patients operated on for cryptorchidism and inguinal hernia. J Urol 1991; 146: 1291–4
23.  Boyle P, Zaridze DG. Risk factors for prostate and testicular cancer. Eur J Cancer 1993; 29A: 1048–55
24.  Swerdlow AJ, Higgins CD, Pike MC. Risk of testicular cancer in cohort of boys with cryptorchidism. BMJ 1997; 314: 1507–11
25.  Moller H, Cortes D, Engholm G, Thorup J. Risk of testicular cancer with cryptorchidism and with testicular biopsy: cohort study. Br Med J 1998; 317: 729–30
26.  Herrinton LJ, Zhao W, Husson G. Management of Cryptorchidism and risk of testicular cancer. Am J Epidemiol 2003; 157: 602–5
27.  Hutson JM, Hasthorpe S. Abnormalities of testicular descent. Cell Tissue Res 2005; 322: 155–8
28.  Dieckmann KP, Pichlmeier U. Clinical epidemiology of testicular germ cell tumours. World J Urol 2004; 22: 2–14
29.  Pettersson A, Richiardi L, Nordenskjold A, Kaijser M, Akre O. Age at surgery for undescended testis and risk of testicular cancer. N Engl J Med 2007; 356: 1835–41
30.  Walsh TJ, Dall’Era MA, Croughan MS, Carroll PR, Turek PJ. Prepubertal orchiopexy for cryptorchidism may be associated with lower risk of testicular cancer. J Urol 2007; 178: 1440–6
31.  Myrup C, Schnack TH, Wohlfahrt J et al. Correction of cryptorchidism and testicular cancer. N Engl J Med 2007; 357: 825–7
32.  Osterlind A, Berthelsen JG, Abildgaard N et al. Risk of bilateral testicular germ cell tumor in Denmark: 1960–84. J Natl Cancer Inst1991; 83: 1391–5
33.  Colls BM, Harvey VJ, Skelton L, Thompson PI, Frampton CM. Bilateral testicular germ cell tumours in New Zealand: experience in Auckland and Christchurch 1978–94. J Clin Oncol 1996; 14: 2061–5
34.  Theodore CH, Terrier-Lacombe MJ, Laplancge A et al. Bilateral germ-cell tumours: 22-year experience at the Institut Gustave Roussy. Br J Cancer 2004; 90: 55–9
35.  FossÃ¥ SD, Chen J, Schonfeld SJ et al. Risk of contralateral testicular cancer: a population-based study of 29 515 U.S. men. J Natl Cancer Inst 2005; 97: 1056–66
36.  Von Der Maase H, Rorth M, Walbom-Jorgensen S et al. Carcinoma in situ of contralateral testis in patients with testicular germ cell cancer: study of 27 cases in 500 patients. Br Med J 1986; 293: 1398–401
37.  Dieckmann KP, Loy V. Prevalence of contralateral testicular intraepithelial neoplasia in patients with testicular germ cell neoplasms. J Clin Oncol 1996; 14: 3126–32
38.  Westergaard T, Olsen JH, Frisch M, Kroman N, Nielsen JW, Melbye M. Cancer risk in fathers and brothers of testicular cancer patients in Denmark. A population-based study. Int J Cancer 1996; 66: 627–31
39.  Sonneveld DJA, Sleijfer DTh, Schraffordt Koops H, Sijmons RH, Van Der Graaf WTA, Hoekstra HJ. Familial testicular cancer in a single-centre population. Eur J Cancer 1999; 35: 1368–73
40.  Hemminki K, Chen B. Familial risks in testicular cancer as aetiological clues. Int J Androl 2006; 29: 205–10
41.  Ekbom A, Richiardi L, Akre O, Montgomery SM, Sparen P. Age at immigration and duration of stay in relation to risk for testicular cancer among Finnish immigrants in Sweden. J Nat Cancer Inst 2003; 95: 1238–40
42.  Hemminki K, Li X. Cancer risks in Nordic immigrants and their offspring in Sweden. Eur J Cancer 2002; 38: 2428–34
43.  Rapley EA, Crockford GP, Teare D et al. Localization to Xq27 of a susceptibility gene for testicular germ-cell tumours. Nat Genet2000; 24: 197–200
44.  Rapley EA, Crockford GP, Easton DF, Stratton MR, Bishop DT. International Testicular Cancer Linkage Consortium. Localisation of susceptibility genes for familial testicular germ cell tumour. APMIS 2003; 111: 128–33
45.  Carlsen E, Giwercman A, Keiding N, Skakkebaek NE. Evidence for decreasing quality of semen during the past 50 years. Br Med J1992; 305: 609–13
46.  Doria-Rose VP, Biggs ML, Weiss NS. Subfertility and the risk of testicular germ cell tumours (United States). Cancer Causes Control 2005; 16: 651–6
47.  Skakkebaek NE, Jorgensen N. Testicular dysgenesis and fertility. Andrologia 2005; 37: 217–8
48.  Raman JD, Nobert CF, Goldstein M. Increased incidence of testicular cancer in men presenting with infertility and abnormal semen analysis. J Urol 2005; 174: 1819–22
49.  Mancini M, Carmignani L, Gazzano G et al. Hih prevalence of testicular cancer in azoospermic men without spermatogenesis.Human Reprod 2007; 22: 1042–6
50.  Ekbom A. Growing evidence that several human cancers may originate in utero. Semin Cancer Biol 1998; 8: 237–44
51.  Storgaard L, Bonde JP, Olsen J. Male reproductive disorders in human and prenatal indicators of estrogen exposure: a review of published epidemiological studies. Reprod Toxicol 2006; 21: 4–15
52.  McGlynn KA, Quraishi SM, Graubard BI, Weber JP, Rubertone WV, Erickson RL. Persistent organochlorine pesticides and risk of testicular germ cell tumours. J Natl Cancer Inst 2008; 100: 663–71
53.  Dieckmann KP, Endsin G, Pichlmeier U. How valid is the prenatal estrogen excess hypothesis of testicular germ cell cancer? A case control study on hormone-related factors. Eur Urol 2001; 40: 677–84
54.  Sharpe RM. The ‘oestrogen hypothesis’– Where do we stand now? Int J Androl 2003; 26: 2–15
55.  Janzen DL, Mathieson JR, Marsh JI et al. Testicular microlithiasis: sonographic and clinical features. Am J Roentgenol 1992; 158:1057–60
56.  Hobarth K, Susani M, Szabo N. Incidence of testicular microlithiasis. Urology 1992; 40: 464–7
57.  Kessaris DN, Mellinger BC. Incidence and implications of testicular microlithiasis detected by scrotal duplex ultrasonography in a select group of infertile men. J Urol 1994; 152: 1560–1
58.  Peterson A, Bauman J, Light D, Mcmann L, Costabile R. The prevalence of testicular microlithiasis in an asymptomatic population of men 18–35 years old. J Urol 2001; 166: 2061–4
59.  DeCastro B, Peterson A, Costabile R. A five-year followup study of asymptomatic men with testicular microlithiasis. J Urol 2008;179: 1420–3
60.  Serter S, Gümü° B, Unlü M et al. Prevalence of testicular microlithiasis in an asymptomatic population. Scand J Urol Nephrol2006; 40: 212–4
61.  Thornhill JA, Butler M, Fitzpatrick JM. Could vasectomy accelerate testicular cancer? The importance of pre-vasectomy examination. Br J Urol 1987; 59: 367
62.  Thornhill JA, Conroy RM, Kelly DG, Walsh A, Fennelly JJ, Fitzpatrick JM. An evaluation of predisposing factors for testis cancer in Ireland. Eur Urol 1988; 14: 429–33
63.  Cale AR, Farouk M, Prescott RJ, Wallace JW. Does vasectomy accelerate testicular tumour? Importance of testicular examinations before and after vasectomy. BMJ 1990; 300: 370
64.  Hewitt G, Logan CJ, Curry RC. Does vasectomy cause testicular cancer? Br J Urol 1993; 71: 607–8
65.  Rosenberg L, Palmer JR, Zauber AG et al. The relation of vasectomy to the risk of cancer. Am J Epidemiol 1994; 140: 431–8
66.  Moller H, Knudsen LB, Lynge E. Risk of testicular cancer after vasectomy: cohort study of over 73000 men. BMJ 1994; 309: 295–9
67.  Merzenich H, Ahrens W, Stang A et al. Correction of cryptorchidism and testicular cancer. N Engl J Med 2007; 357: 825–7
68.  Davies TW, Palmer CR, Ruja E, Lipscombe JM. Adolescent milk, dairy product and fruit consumption and testicular cancer. Br J Cancer 1996; 74: 657–60
69.  Sigurdson AJ, Chang S, Annegers JF et al. A case-control study of diet and testicular carcinoma. Nutr Cancer 1999; 34: 20–6
70.  Ganmaa D, Li XM, Wang J, Qin LQ, Wang PY, Sato A. Incidence and mortality of testicular and prostatic cancers in relation to world dietary practices. Int J Cancer 2002; 98: 262– 7
71.  Garner MJ, Birkett NJ, Johnson KC, Shatenstein B, Ghadirian P, Krewski D. Dietary risk factors for testicular carcinoma. Int J Cancer 2003; 106: 934–41
72.  Kaijser M, Akre O, Cnattingius S, Ekbom A. Maternal lung cancer and testicular cancer risk in the offspring. Cancer Epid Biomarkers Prev 2003; 12: 643–6
73.  Pettersson A, Kaijser M, Richiardi L, Askling J, Ekbom A, Akre O. Women smoking and testicular cancer: one epidemic causing another? Int J Cancer 2004; 109: 941–4
74.  Coupland CAC, Forman D, Chilvers CED, Davey G, Pike MC, Oliver RTD. Maternal risk factors for testicular cancer: a population-based case–control study (UK). Cancer Causes Contr 2004; 15: 277–83
75.  McGlynn KA, Zhang Y, Sakoda LC, Rubertone MV, Erickson RL, Graubard BI. Maternal smoking and testicular germ cell tumors.Cancer Epidem Biomarkers Prev 2006; 15: 1820–4
76.  Pettersson A, Akre O, Richiardi L, Ekbom A, Kaijser M. Maternal smoking and the epidemic of testicular cancer – a nested case–control study. Int J Cancer 2007; 120: 2044–6
77.  Tuomisto J, Holl K, Rantakokko P et al. Maternal smoking during pregnancy and testicular cancer in the sons: a nested case-control study and a meta-analysis. Eur J Cancer 2009; 45: 1540–648
78.  Andrew J. Stephenson. Neoplasms of the testis. In: Wein AJ, Kavoussi LR, Novick AC, Partin AW, Peters CA, editors. Campbell-Walsh Urology.10th ed. Philadelphia: Elsevier Saunders; 2012/ p. 837-870.
79.  WHO histological classification of testis tumours, In: Eble JN, Sauter G, Epstein JI, Sesterhenn IA, eds. Pathology & Genetics. Tumours of the urinary system and male genital organs. Lyons: IARC Press, 2004: 218, pp. 250-262.
80.  Sjamsuhidajat R, De Jong Wim. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi ke-2. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC.2004. Hal 791-792.
81.  Doherty GM. Current Surgical Diagnosis and Treatment. USA : McGraw Hill.2006. Page 1049-1051
82.  Sabiston D, Oswari J.Buku Ajar Bedah. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC.1994. Hal 492-494.
83.  Schwartz. Intisari Prinsip-prinsip Ilmu Bedah. Jakarta : EGC 2000. Hal 580-594.
Unknown

Entri Populer

Blog Teman

Komentar Kita