| sebuah blog sederhana |

.
)|( Dimana Inspirasi semua Bermula )|( Faidza Azzamta Fatawakkal Alallah )|( Al Wajaba Aktsaru Minal Auqaat )|( As Shabru Fii Awwali Shadam )|(

Total Pengunjung

3/19/2014

TINEA FASIALIS


LAPORAN KASUS


TINEA FASIALIS








Oleh:
Heri Wahyudi (0702005065)



Supervisor:
dr. I Made Palguna, Sp.KK
dr. Ketut Suteja Wibawa, Sp.KK, M.Kes



DALAM RANGKA MENGIKUTI KEPANITERAAN KLINIK MADYA
BAGIAN ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS UDAYANA
RSUD BULELENG
FEBRUARI 2012

BAB 1
PENDAHULUAN

Indonesia adalah negara tropis, ditambah higiene yang kurang baik, infestasi jamur kulit cukup banyak. Di rumah sakit Dr. Cipto Mangunkusumo/Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia ( RSCM/ FKUI ) Bagian Mikologi Bagian Penyakit Kulit dan Kelamin pada tahun 1992 ditemukan 2500 penderita dari 19.000 jumlah pengunjung bagian tersebut seluruhnya. Ini berarti kurang lebih 13 % penderita penyakit jamur kulit. Keadaan itu hampir sama dengan daerah-daerah lain di Indonesia. Demikian pula keadaan di rumah sakit  Dr. Sutomo, Surabaya, dermatomikosis superfisialis masih merupakan penyakit kulit yang banyak ditemui. Keadaan polikilinik rumah sakit di kota-kota lain diperkirakan tidak banyak berbeda (Budimulja, 1983). Data dari RSUD Kabupaten Buleleng didapatkan penderita penyakit jamur yaitu pada tahun 2004 sebanyak 240 kasus, tahun 2005 sebanyak 390 kasus dan semester I tahun 2006 sebanyak 162 kasus.
Dari berbagai macam penyakit jamur kulit, yang merupakan tipe infeksi superfisial dan kutan, maka pitiriasis versikolor, dermatofitosis dan kandidosis kulit yang tersering ditemui. Penyakit jamur pada kulit merupakan salah satu penyakit rakyat yang masih banyak terdapat di Indonesia. Kurangnya pengetahuan mengenai kebersihan merupakan salah satu faktor yang menghambat dalam pemberantasannya (Budimulja, U. 1983).
Dermatofitosis adalah golongan penyakit jamur superfisial yang disebabkan oleh jamur dermatofita, yakni Trichophyton spp, Microsporum spp, dan Epidermophyton spp. Penyakit ini menyerang jaringan yang mengandung zat tanduk (stratum korneum) yakni,  ( Tinea korporis, Tinea kruris, Tinea manus et pedis ), rambut ( Tinea kapitis ), kuku        ( Tinea unguinum ). Dermatofitosis ini terjadi oleh karena terjadi inokulasi jamur pada tempat yang terserang, biasanya pada tempat yang lembab dengan maserasi atau ada trauma sebelumnya. Higiene juga berperan untuk timbulnya penyakit ini (Harahap, M. 1998).
Pada kesempatan ini akan dilaporkan sebuah kasus Tinea fasialis.

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA


TINEA KORPORIS (TINEA FASIALIS)
2.1 Definisi
            Tinea korporis adalah penyakit karena infeksi jamur dermatofita pada kulit halus  ( glabrous skin ) di daerah muka, leher, badan, lengan, dan gluteal (Harahap, M. 1998).

2.2 Sinonim
            Sinonim dari Tinea Korporis adalah Tinea sirsinata, Tinea glabrosa, kurap, kadas (Djuanda, A. 2002).
2.3 Etiologi
            Penyebab tersering Tinea Korporis adalah Trichophyton rubrum dan Trichophyton mentagrophytes. (Budimulja, U. 1983)

2.4 Gejala
            Penderita mengeluh gatal yang kadang-kadang meningkat waktu berkeringat.

2.5 Gambaran Klinis
            Kelainan yang dilihat dari Tinea korporis  dalam klinik merupakan lesi bulat atau lonjong , berbatas tegas terdiri atas eritema, skuama, kadang-kadang dengan vesikel dan papul di tepi. Daerah tengahnya biasanya lebih tenang yang sering disebut dengan sentral healing, sementara yang di tepi lebih aktif. Kadang-kadang terlihat erosi dan krusta akibat garukan. Lesi-lesi pada umumnya merupakan bercak – bercak terpisah satu dengan yang lain. Kelainan kulit dapat pula terlihat sebagai lesi-lesi dengan pinggir yang polisiklik, karena beberapa lesi kulit yang menjadi satu. Bentuk dengan tanda radang yang lebih nyata, lebih sering dilihat pada anak-anak daripada orang dewasa karena umumnya mereka mendapat infeksi baru pertama kali.         Pada tinea korporis yang menahun, tanda radang mendadak biasanya tidak terlihat lagi. Kelainan ini dapat terjadi pada tiap bagian tubuh dan bersama-sama dengan kelainan pada sela paha.  Dalam hal ini disebut tinea corporis et cruris atau sebaliknya tinea cruris et corporis. Bentuk kronik yang disebabkan oleh T. rubrum kadang-kadang terlihat bersama-sama dengan tinea unguinum (Djuanda, A. 2002).
           
2.6 Diagnosis                                                                                                        
            Diagnosis dibuat berdasarkan gambaran klinis, hasil pemeriksaan sediaan langsung yang positif dan biakan. Kadang – kadang diperlukan pemeriksaan dengan lampu Wood, yang mengeluarkan sinar ultraviolet dengan gelombang 3650 Ao. Pemeriksaan sediaan langsung dengan KOH 10-20% memperlihatkan elemen jamur berupa hifa panjang atau spora jamur (Ernawati, K. 1988).
            Pemeriksaan biakan jamur diperlukan untuk identifikasi spesies jamur. Pemeriksaan sedian langsung bahan klinis dermatofitosis mudah dilakukan dan memberi hasil cukup baik (± 90%) untuk menyokong pembuatan diagnosis berdasarkan pemeriksaan klinis. Biakan memberikan hasil lebih lengkap, akan tetapi lebih sulit dikerjakan dan lebih mahal. Hasil biakan diperoleh dalam waktu lebih lama dan sensitivitasnya kurang (± 60%) bila dibandingkan dengan cara pemeriksaan sediaan langsung (Ernawati, K. 1988).

2.7 Diagnosis Banding
            Tidak sukar untuk menentukan diagnosis tinea korporis pada umumnya, namun ada beberapa penyakit kulit yang gambarannya mirip, misalnya :
1.      Dermatitis seboroika
           Kelainan kulit pada dermatitis seboroika selain dapat menyerupai tinea korporis, biasanya dapat terlihat pada tempat-tempat predileksi, misalnya di kulit kepala (scalp), lipatan-lipatan kulit, misalnya belakang telinga, daerah nasolabial, dan sebagainya. (Budimulja, U. 1983)
2.      Pitiriasis  rosea
           Gambaran makula eritematosa dengan tepi sedikit meninggi, ada papula, skuama. Diameter panjang lesi menuruti garis kulit. (Budimulja, U. 1983)



3.      Neurodermatitis sirkumskripta
            Makula eritematosa berbatas tegas terutama daerah tengkuk, lipatan lutut dan lipatan siku. (Budimulja, U. 1983)

2.8 Pengobatan (Sjamsoe, E. 2005)
            a. Pengobatan topikal
- Kombinasi asam salisilat (3-6%) dan asam benzoat (6-12%) dalam  bentuk salep : tolnaftat, tolsiklat, haloprogin, siklopiroksolamin.
- Kombinasi asam salisilat dan sulfur presipitatum dalam bentuk salep (salep 2-4, salep 3-10)
- Derivat azol : mikonazol 2%, klotrimasol 1% dll.
           
            b. Pengobatan sistemik
                                1.  Griseofulvin
Griseofulvin 500-1000 mg sehari untuk dewasa, sedangkan anak-anak 15-20  mg/kgBB sehari dosis tunggal selama 2-6 minggu. Lama pemberian griseofulvin pada tinea korporis adalah 3-4 minggu, diberikan bila lesi luas atau bila dengan pengobatan topikal tidak ada perbaikan. Pada kasus yang resisten terhadap griseofulvin dapat diberikan derivat azol seperti itrakonazol, flukonazol dll.
2.  Golongan Azol
- itrakonazol 2x100 mg/hr selama 2 minggu
- ketokonazol 200mg/hr selama 10-14 hari.
3.  Antibiotika
Antibiotika diberikan bila terdapat infeksi sekunder.
4.  Antihistamin
                                    Antihistamin diberikan untuk mencegah rasa gatal



2.9 Pencegahan (Kasansengari, U. 1982)
            Faktor-faktor  yang perlu dihindari atau dihilangkan untuk mencegah terjadi tinea korporis antara lain :
  1. Mengurangi kelembaban dari tubuh penderita dengan menghindari pakaian yang panas (karet, nylon), memperbaiki ventilasi rumah dan menghindari berkeringat yang berlebihan.
  2. Menghindari sumber penularan yaitu binatang, kuda, sapi, kucing, anjing, atau kontak penderita lain.
  3. Menghilangkan fokal infeksi ditempat lain misalnya di kuku atau di kaki.
  4. Meningkatkan hygiene dan memperbaiki makanan.
  5. Faktor-faktor predisposisi lain seperti diabetes mellitus, kelainan endokrin yang lain, leukemia, harus dikontrol.

2.10 Prognosis
            Prognosis pada umumnya baik. (Budimulja, U. 1983)





BAB 3
LAPORAN KASUS

3.1 Identitas Penderita
Nama                           : IKD
Umur                           : 59 Tahun
Jenis Kelamin              : laki-laki
Alamat                                    : Jl. Pulau Komodo no.91, Banyuning, Singaraja
Suku                            : Bali
Pekerjaan                     : Wiraswasta
Bangsa                                    : Indonesia
Agama                         : Hindu
Tanggal Pemeriksaan  : 20 Februari 2012

3.2 Anamnesis
Keluhan Utama        
Pipi kiri gatal              
Perjalananan  Penyakit       
            Penderita mengeluh gatal pd pipi kirinya sejak ±7 bln yg lalu. Awalnya gatal pd daerah pipi saja, kemudian digaruk2 oleh penderita & menyebar ke depan telinga & dibwh mandibula. Stlh itu muncul bintik2 wrn merah yang kini menimbulkan bercak putih dengan permukaan yang rata di daerah pipi kiri. Gatal dikatakan sering muncul saat pasien berkeringat sehabis beraktivitas.

Riwayat Pengobatan                        
Sdh prh berobat seblmnya. Penderita diberikan Myconazol salep 2 kali dlm sehari, Ketokonazol 1x 200mg, Mebhydroline  3x 50mgPenderita dtg kontrol ke RSUD Kabupaten Buleleng tgl 20 Feb’12 utk yg ke-2 kalinya.


Riwayat Penyakit Terdahulu          
Penderita belum pernah mengalami penyakit yang sama sebelumnya.
Riwayat Penyakit dalam keluarga 
            Di keluarga tidak ada yang mengalami sakit yang sama dengan penderita
Riwayat atopi           
            Tidak ada keluarga yang menderita asma maupun dermatitis

3.3 Pemeriksaan Fisik
Status Present
            Keadaan Umum          : Baik
            Nadi                            : 74 kali permenit
            Respirasi                      : 20 kali permenit
           
Status General
            Kepala                         :  Normocephali
Mata                            :  anemia -/-, ikt-/-
THT                             :  dalam batas normal
Thorax : Cor                :  S1S2 normal, murmur (-)
              Pulmo            :  vesikuler +/+, ronkhi -/-, wheezing -/-
Abdomen                    :  distensi (-),bising usus normal, hepar dan lien tidak teraba
Ekstremitas                 :  dalam batas normal.

Status Dermatologi
Lokasi                   :  pipi kiri dan pipi kanan
Effloresensi           :  Makula hipopigmentasi, polisiklik dg skuama halus diatsnya, plakat, regio: pipi kiri, berbatas tegas, tepi aktif, sentral healing, papul dan vesikel multiple yg menyebar dg ukuran yg bervariasi




3.4  Pemeriksaan Penunjang
KOH 10%

3.5 Diagnosis Banding
1. Pitiriasis rosea
2. Dermatitis seboroika
            3. Neurodermatitis sirkumskripta

3.6 Resume
-          Keluhan Utama : pipi kiri gatal
-          Gatal dirasakan sejak ±7 bln yg lalu. Awalnya gatal pd daerah pipi saja, kemudian digaruk2 oleh penderita & menyebar ke depan telinga & dibwh mandibula.
-          Gatal dikatakan sering muncul saat pasien berkeringat sehabis beraktivitas.
-          Muncul bintik2 wrn merah yang kini menimbulkan bercak putih dengan permukaan yang rata di daerah pipi kiri.       

3.7 Diagnosis Kerja
            Tinea Fasialis

3.8 Penatalaksanaan
            Topikal            : Myconazol 2 kali dalam sehari
            Sistemik          : Ketokonazol 1x 200mg selama 2minggu, Mebhydroline  3x 50mg
KIE                 : - Menghindari berkeringat yang berlebihan.
  - Meningkatkan hygiene dan memperbaiki makanan
  - Kontrol 2 minggu lagi

3.9 Prognosis
            Prognosis dari penyakit ini adalah baik (Dubius ad bonam)



BAB 4
PEMBAHASAN

Dari anamnesis didapatkan bahwa penderita mengeluh gatal pada pipi kirinya ±7 bulan yang lalu. Awalnya gatal pd daerah pipi saja, kemudian digaruk-garuk oleh penderita & menyebar ke depan telinga & dibwh mandibula. Setelah itu muncul bintik-bintik wrn merah yang kini menimbulkan bercak putih dengan permukaan yang rata di daerah pipi kiri dan semakin gatal bila terkena keringat. Hal ini sesuai dengan teori yang ada bahwa pada tinea muncul gejala gatal. Apabila lesi terkena keringat maka akan bertambah gatal. Gejala gatal pada tinea biasanya muncul dalam waktu relatif lama, jarang muncul gejala dalam waktu singkat. Hal ini bisa disebabkan oleh karena gejala dari penyakit yang disebabkan oleh jamur adalah asimtomatis. Selain itu terdapat bintik kecil berwarna merah yang makin lama makin besar  yang mendukung bahwa disini terdapat tepi lesi yang aktif dan untuk mendukung hal tersebut perlu juga kita melihat status dermatologinya yang didapatkan dengan melihat langsung pada kulit penderita.
            Status dermatologinya didapatkan lesi didaerah pipi kiri dengan effloresensi berupa  Makula hipopigmentasi, polisiklik dengan skuama halus diatsnya, plakat, regio: pipi kiri, berbatas tegas, tepi aktif, sentral healing, papul dan vesikel multiple yang menyebar dengan ukuran yg bervariasi. Diagnosis adalah dengan pemeriksaan KOH 10 % untuk melihat adanya hifa panjang dan spora jamur, hal ini untuk menegakkan diagnosis pasti Tinea korporis. Lokasi lesi di pipi kiri, pipi kanan, dahi dan dibawah mandibula, dimana di dalam teori dikatakan bahwa predileksi terjadinya tinea korporis adalah daerah muka, leher, badan, lengan, dan gluteal. Hal ini sesuai dengan teori yaitu lokasi di daerah muka. Selain itu dari efloresensi didapatkan lesi dengan tepi aktif dan sentral healing yang diperkuat dengan hasil pemeriksaan KOH yang positif, dimana sesuai dengan teori bahwa pada tinea korporis terdapat daerah tengah yang biasanya lebih tenang yang disebut dengan sentral healing, sementara tepi lebih aktif. 
            Apabila penyakit yang disebabkan oleh jamur ini menjadi kronis ( bertahun-tahun) maka vesikel bisa pecah oleh karena garukan sehingga akan terjadi erosi dan bisa menjadi krusta. Di dalam mendiagnosis tinea korporis kadang kita dibingungkan dengan Dermatitis seboroika, yang predileksinya berbeda. Dermatitis seboroika predileksinya di kulit kepala (scalp), lipatan-lipatan kulit, misalnya belakang telinga, daerah nasolabial, dan sebagainya. Sedangkan pada tinea korporis predileksinya di daerah muka, leher, badan, lengan, dan gluteal. Jika dibandingkan dengan Pitiriasis  rosea, diameter panjang lesi mengikuti garis kulit sedangkan pada tinea korporis diameter panjang lesi tidak mengikuti garis kulit. Kelainan berupa tinea korporis dapat muncul secara bersamaan dengan tinea kruris  dan pada penderita ini kejadian tinea kruris dan korporis terjadi bersamaan sehingga dapat didiagnosis dengan tinea cruris et corporis.
            Penatalaksanaan pada pasien ini adalah dengan memberikan obat topikal dan sistemik. Obat topikal yang diberikan adalah myconazol yang dioleskan dua kali sehari dan obat sistemik yang diberikan adalah ketokonazol 1x200mg dan Mebhydroline 3x50mg. Obat tersebut diberikan selama  2 minggu. Di dalam teori dikemukakan bahwa Pengobatan topikal bisa diberikan dengan Kombinasi asam salisilat (3-6%) dan asam benzoat (6-12%) dalam  bentuk salep : tolnaftat, tolsiklat, haloprogin, siklopiroksolamin. Kombinasi asam salisilat dan sulfur presipitatum dalam bentuk salep (salep 2-4, salep 3-10). Derivat azol : mikonazol 2%, klotrimasol 1% dll. Pengobatan pada pasien ini sudah sesuai dengan teori yang ada, dimana diberikan myconazol salep dan ketokonazol tablet, dimana ketokonazol bersifat fungsida. Pada kasus-kasus resisten terhadap Griseofulvin dapat diberikan obat ketokonazol sebanyak 200 mg/hari selama 10 hari sampai 2 minggu pada pagi hari setelah makan. Kontraindikasinya pada pasien yang ada kelainan hepar.
Prognosis dari dermatofita bergantung pada bentuk klinis, penyebab spesies dermatofita, sosial budaya dan daya tahan tubuh (status imunologis ). Pada umumnya prognosis penyakit ini adalah baik.


BAB 5
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
    1. Insiden Tinea fasialia masih cukup banyak di Indonesia.
    2. Tinea fasialis adalah penyakit karena infeksi jamur dermatofita dimana predileksinya pada daerah muka, leher, badan, lengan dan gluteal.
    3. Pengobatan Tinea fasialis dengan menggunakan obat  topikal dan sistemik.
    4. Faktor-faktor predisposisi terjadinya Tinea fasialis yang paling sering adalah kurangnya hygiene perorangan.
    5. Prognosis penyakit ini pada umumnya baik.


5.2 Saran
1.      Agar setiap orang bisa memperhatikan hygiene perorangan untuk mencegah terjadinya Tinea fasialis.
2.      Sebaiknya penderita Tinea fasialis berobat dengan tekun dan apabila dalam keluarga ada yang menderita tinea juga maka harus segera berobat untuk mencegah penularan ke anggota keluarga yang lain.
3.      Sebaiknya penderita tinea jangan menggunakan berbagai macam obat takut terjadinya resistensi obat.
4.      Untuk  menegakkan diagnosis pasti Tinea fasialis sebaiknya melakukan pemeriksaan KOH dan dilihat dibawah mikroskop.    
 



DAFTAR PUSTAKA

1. Budimulja,U. Sunoto. Dan Tjokronegoro, Arjatmo.: Penyakit Jamur. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia,Jakarta (1983).
2.   Harahap, Marwali. : Ilmu Penyakit Kulit. Hipokrates, Jakarta (1998).
3.   Djuanda, Adhi. Dkk.: Ilmu Penyakit Kulit Dan Kelamin. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta (2002).
4.  Etnawati, K. Dkk. : Perkembangan Pengobatan Penyakit Jamur Superfisial. Fakultas Kedokteran Universitas Gajah Mada, Yogyakarta (1988).
5.   Sjmsoe, Emmy. Dkk. : Penyakit Kulit Yang Umum Di Indonesia. PT Medical Multimedia Indonesia, Jakarta (2005).
6. Kasansengari, Urip Suherman. Dkk.: Kumpulan Naskah Simposium Dermato- Mikologi. Bagian Ilmu Penyakit Kulit Dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga/ RS Dr. Soetomo, Surabaya (1982).


Unknown

Entri Populer

Blog Teman

Komentar Kita