| sebuah blog sederhana |

.
)|( Dimana Inspirasi semua Bermula )|( Faidza Azzamta Fatawakkal Alallah )|( Al Wajaba Aktsaru Minal Auqaat )|( As Shabru Fii Awwali Shadam )|(

Total Pengunjung

5/30/2013

Cahaya

Hidup ini dipenuhi cahaya.

Kilau maya yang menggambarkan berjuta asa.

Kilau maya yang membiaskan ronanya.

Silau membawa penat dan paparan anugerah yang tiada berambisi kelabukan dunia.

Mungkin bukan sekedar pencapaian tak bertujuan, tapi tujuan yang berkiblat pada warna-warni pencitraanya.

Itulah cahaya!

Hidup untuk bahagiakan jiwa yang tertegun manja tuk mengecap kilaunya.
Unknown
5/12/2013

PATOFISIOLOGI DAN FAKTOR RISIKO NEURALGIA PASCA HERPETIKA


Paper

PATOFISIOLOGI DAN FAKTOR RISIKO
NEURALGIA PASCA HERPETIKA





Oleh:
      Heri Wahyudi, S.Ked                                           (0702005065)
                              Sabrina Selvarasan, S.Ked                                    (0802005186)
                                


Dosen Pembimbing :
dr. Eka Widyadharma, M.Sc, Sp.S



DALAM RANGKA MENJALANI KEPANITERAAN KLINIK MADYA
DI LAB/SMF ILMU PENYAKIT SARAF FK UNUD/RSUP SANGLAH
DESEMBER 2012
Lembar Pengesahan Presentasi


Tinjauan Pustaka ini telah disetujui untuk dipresentasikan
Desember 2012



Pembimbing




(dr. Eka Widyadharma, M.Sc, Sp.S)


Mengetahui

Kepala Bagian Ilmu Penyakit Saraf FK UNUD/RS Sanglah




(DR. dr. DPG Purwa Samatra, Sp.S (K))


BAB I
PENDAHULUAN


Nyeri Post-herpetik adalah nyeri yang timbul setelah gejala-gejala herpes zoster mulai membaik.1 Neuralgia pasca herpetika (NPH) adalah komplikasi yang serius dari Herpes Zoster, nyeri dirasakan di tempat penyembuhan ruam Herpes Zoster, terjadi 9 % hingga 15 % pasien herpes zoster yang tidak diobati, dengan risiko yang lebih tinggi pada usia tua. Data seluruh dunia menunjukkan di antara pasien herpes zoster yang berumur di atas 60 tahun, 6% masih merasakan nyeri saat 1 bulan sejak terkena herpes zoster; dan 1% masih merasakan nyeri 3 bulan sesudahnya. Herpes zoster sendiri merupakan suatu reaktivasi virus varicella (cacar air) yang berdiam di dalam jaringan saraf. Gangguan sensorik berupa hiperestesia, hiperalgesia dan alodinia ikut memperberat penderitaan yang dialami.2
NPH ditandai gangguan fungsi saraf yang menyerang saraf nosiseptif (penghantar rangsang nyeri) dan sensorik. Terbentuknya persambungan sel-sel saraf yang abnormal dan ketidakseimbangan pengaturan otomatis pada sistem penghambatan serta perangsangan saraf juga ditemukan dan berperan terhadap timbulnya nyeri pada kasus ini. Tidak semua kasus herpes zoster diikuti dengan NPH. Kasus ini lebih sering ditemukan pada lansia, serangan herpes zoster di wajah bagian atas dan lengan, nyeri hebat pada saat serangan herpes zoster, dan ruam kulit yang sangat banyak pada saat serangan herpes zoster. Pasien sudah pernah menderita herpes zoster sebelumnya, dan nyeri dirasakan di tempat yang tadinya terdapat ruam kulit. Nyeri demikian dapat dikategorikan sebagai NPH jika masih dirasakan sampai lebih dari 3 bulan sejak hilangnya ruam kulit. Sifat nyeri umumnya terasa seperti ditusuk-tusuk dan dapat dicetuskan oleh sentuhan ringan (yang dalam keadaan normal tidak menimbulkan nyeri). Sejauh ini tidak ada pemeriksaan laboratorium yang dibutuhkan untuk mendiagnosis NPH. Menurut Dworkin, 1994, mendefinisikan NPH sebagai nyeri neuropatik yang menetap setelah onset ruam (atau 3 bulan setelah penyembuhan herpes zoster). Sesuai dengan definisi sebelumnya maka The International Association for Study of Pain (IASP) menggolongkan NPH sebagai nyeri kronik yaitu nyeri yang timbul setelah penyembuhan usai atau nyeri yang berlangsung lebih dari tiga bulan tanpa adanya malignitas.3,4,5
Kebanyakan data insidensi herpes zoster dan neuralgia post herpertik didapatkan dari data Eropa dan Amerika Serikat.. Sindrom nyeri ini menyerang 5 hingga 10% orang yang terkena herpes zoster. Tetapi berlaku tiga kali lipat pada individu berusia di atas 60 tahun. Penelitian Choo 1997 melaporkan prevalensi terjadinya NPH setelah onset ruam herpes zoster sejumlah 8 kasus/100 pasien dan 60 hari setelah onset sekitar 4.5 kasus/100 pasien. Sehingga berdasarkan penelitianChoo, diperkirakan angka terjadi NPH sekitar 80.000 kasus pada 30 hari dan 45.000 kasus pada 60 hari per 1 juta kasus herpes zoster di Amerika Serikat per tahunnya. Sedangkan belum didapatkan angka insidensi Asia Australia dan Amerika Selatan, tetapi presentasi klinis dan epidemiologi herpes zoster di Asia, Australia dan Amerika Selatan mempunyai pola yang sama dengan data dari Eropa dan Amerika Serikat. Pada herpes zoster akut hampir 100% pasien mengalami nyeri, dan pada 10-70%nya mengalamia NPH. Nyeri lebih dari 1 tahun pada penderita berusia lebih dari 70 tahun dilaporkan mencapai 48%. Dari data di atas dapat di lihat bahwa faktor risiko yang begitu signifikan adalah seiring dengan pertambahan umur. Faktor risiko lain yang mempunyai peranan pula dalam menimbulkan NPH adalah gangguan sistem kekebalan tubuh, pasien dengan penyakit keganasan (leukimia, limfoma), lama terjadinya ruam.3,5,6
NPH adalah, nyeri yang dapat menganggu tidur, mood, dan pekerjaan sehingga mempengaruhi kualitas hidup, baik jangka pendek maupun jangka panjang. Pemberian terapi analgetik klasik tidak efektif terhadap neuralgia pasca herpetika. Hal ini dapat dimengerti karena bukti-bukti ilmiah telah menunjukkan adanya keterlibatan susunan saraf pusat pada NPH. Neuralgia pasca herpetika merupakan penyebab nyeri deaferensiasi dan terbukti sering menimbulkan masalah penatalaksanaan yang cukup sulit. Prioritas saat ini adalah bagaimana memprediksi timbulnya NPH dan tentu saja patofisiologinya 2


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA


2.1 Definisi
NPH adalah suatu kondisi nyeri yang dirasakan di bagian tubuh yang pernah terserang infeksi herpes zoster (cacar ular). Herpes zoster sendiri merupakan suatu reaktivasi virus varicella (cacar air) yang berdiam di dalam jaringan saraf.7
Neuralgia atau nyeri seperti didefinisikan oleh International Association for Study of Pain (IASP), adalah suatu pengalaman sensorik dan emosional yang tidak menyenangkan akibat kerusakan jaringan, baik aktual maupun potensial, atau yang digambarkan dalam bentuk kerusakan tersebut. Dari definisi tersebut, nyeri terdiri atas dua komponen utama, yaitu komponen sensorik (fisik) dan emosional (psikogenik). Nyeri bisa bervariasi berdasarkan: waktu dan lamanya berlangsung (transien, intermiten, atau persisten), intensitas (ringan, sedang dan berat), kualitas (tajam, tumpul, dan terbakar), penjalarannya (superfisial, dalam, lokal atau difus). Di samping itu nyeri pada umumnya memiliki komponen kognitif dan emosional yang digambarkan sebagai penderitaan. Selain itu nyeri juga dihubungkan dengan refleks motorik menghindar dan gangguan otonom yang oleh Woolf (2004) disebut sebagai pengalaman nyeri 3,4,5,7,8
Neuralgia adalah nyeri seperti terbakar, teriris atau nyeri disetetik yang bertahan selama berbulan-bulan bahkan dapat sampai tahunan. Burgoon, 1957, mendefinisikan NPH sebagai nyeri yang menetap setelah fase akut infeksi. Rogers, 1981, mendefinisikan sebagai nyeri yang menetap satu bulan setelah onset ruam herpes zoster. Tahun 1989, Rowbotham mendefinisikan sebagai nyeri yang menetap atau berulang setidaknya selama tiga bulan setelah penyembuhan ruam herpes zoster. Dworkin, 1994, mendefinisikan NPH sebagai nyeri neuropatik yang menetap setelah onset ruam (atau 3 bulan setelah penyembuhan herpes zoster). Tahun 1999, Browsher mendefinisikan sebagai nyeri neuropatik yang menetap atau timbul pada daerah herpes zoster lebih atau sama dengan tiga bulan setelah onset ruam kulit. Dari berbagai definisi yang paling tersering digunakan adalah definisi menurut Dworkin.9,10

2.2 Epidemiologi
Evaluasi terhadap data-data penelitian, diperkirakan Herpes zoster mempengaruhi sekitar 3,4 dari 1000 penduduk, dan 0,49 dari 1000 penduduk berkembang kearah NPH tiap tahunnya. NPH diperkirakan menghinggapi pada 9-19% dari semua pasien dengan riwayat Herpes zoster. Meskipun Herpes Zoster dapat terjadi pada semua usia, insidennya meningkat pada usia tua. Risiko NPH diperkirakan 2% pada pasien dengan usia kurang dari 50 tahun, sekitar 20% pada pasien di atas 50 tahun, dan sekitar 35% pada mereka yang lebih dari 80 tahun.11
NPH  dapat  diklasifikasikan  menjadi neuralgia herpetik akut (30 hari setelah timbulnya ruam pada kulit), neuralgia herpetik subakut (30-120 hari setelah  timbulnya  ruam  pada  kulit)  dan  NPH  (di  definisikan sebagai  rasa  sakit  yang  terjadi  setidaknya  120  hari  setelah  timbulnya  ruam  pada kulit).7,12
NPH lebih banyak menyerang lansia dan orang dengan kekebalan tubuh yang rendah. Data seluruh dunia menunjukkan di antara pasien herpes zoster yang berumur di atas 60 tahun, 6% masih merasakan nyeri saat 1 bulan sejak terkena herpes zoster; dan 1% masih merasakan nyeri 3 bulan sesudahnya.7
Penelitian Choo 1997 melaporkan prevalensi terjadinya NPH setelah onset ruam herpes zoster sejumlah 8 kasus/100 pasien dan 60 hari setelah onset sekitar 4.5 kasus/100 pasien. Sehingga berdasarkan penelitian Choo, diperkirakan angka terjadi NPH sekitar 80.000 kasus pada 30 hari dan 45.000 kasus pada 60 hari per 1 juta kasus herpes zoster di Amerika Serikat per tahunnya.3
Pada herpes zoster akut hampir 100% pasien mengalami nyeri, dan pada 10-70%nya mengalamia NPH. Nyeri lebih dari 1 tahun pada penderita berusia lebih dari 70 tahun dilaporkan mencapai 48%.3
Hypopigmented rash in thoracic dermatome of posthe
Gambar 1. Neuralgia Pasca herpetika2

2.3 Patofisiologi
Infeksi primer berasal dari virus varisella zoster atau yang dikenal sebagai varisella atau cacar air. Pajanan pertama biasanya terjadi pada usia kanak-kanak. Virus ini masuk ke tubuh melalui sistem respiratorik. Pada nasofaring, virus varisella zoster bereplikasi dan menyebar melalui aliran darah sehingga terjadi viremia dengan manifestasi lesi kulit yang tersebar di seluruh tubuh. Periode inkubasi sekitar 14-16 hari setelah paparan awal. Setelah infeksi primer dilalui, virus ini bersarang di ganglion kornu dorsal, hidup secara dorman selama bertahun-tahun.3
NPH  memiliki  patofisiologi  yang  berbeda  dengan  nyeri herpes  zoster  akut.  NPH, komplikasi dari herpes zoster, adalah sindrom nyeri neuropatik yang dihasilkan dari kombinasi inflamasi dan kerusakan akibat virus pada serat aferen primer saraf sensorik. Setelah resolusi infeksi primer varicella, virus tetap aktif di ganglia sensorik. Virus ini diaktifkan kembali atau mengalami reaktivasi, bermanifestasi sebagai herpes zoster akut, dan berhubungan dengan kerusakan pada ganglion, saraf aferen primer, dan kulit. Studi histopatologi telah menunjukkan fibrosis dan hilangnya neuron (dalam ganglion dorsal), jaringan parut, serta kehilangan akson dan mielin (pada saraf perifer yang terlibat), atrofi (dari tanduk dorsal sumsum tulang belakang), dan peradangan (sekitar saraf tulang belakang) dengan infiltrasi dan akumulasi limfosit. Selain itu, ada pengurangan saraf inhibitor berdiameter besar dan peningkatan neuron eksitasi kecil, pada saraf perifer.13
Patofisiologi NPH terjadi oleh karena cedera neuron yang mengenai sistem saraf baik perifer maupun pusat. Cedera ini mengakibatkan neuron sentral dan perifer mengadakan discharge spontan sementara juga menurunkan ambang aktivasi untuk menghasilkan nyeri yang tidak sesuai pada stimulus yang tidak menyebabkan nyeri. Biopsi kulit menunjukkan hilangnya ujung saraf bebas epidermal pada daerah yang terkena. Namun, reinervasi tidak dibutuhkan untuk resolusi nyeri.14
Reaktivasi virus ini  mengakibatkan  inflamasi  atau  kerusakan  pada serabut  saraf  sensoris  yang  berkelanjutan,  hilang  dan  rusaknya  serabut-serabut saraf atau impuls abnormal, dimana serabut saraf berdiameter besar  yang berfungsi sebagai inhibitor hilang  atau  rusak  dan  mengalami  kerusakan  terparah.  Akibatnya,  impuls nyeri ke medulla spinalis meningkat sehingga pasien merasa nyeri yang hebat. Virus herpes zoster kebanyakan memusnahkan sel-sel ganglion yang berukuran besar sementara yang tersisa adalah sel-sel berukuran kecil. Mereka tergolong dalam serabut halus yang menghantarkan impuls nyeri, yaitu serabut A-delta dan C. Hal ini menyebabkan semua impuls yang masuk diterima oleh serabut penghantar nyeri. Selain itu pada saraf perifer terjadi lesi yang mengakibatkan saraf perifer tersebut memiliki ambang aktivasi yang lebih rendah sehingga menimbulkan hyperesthesia, yaitu respon sensitivitas yang berlebihan terhadap stimulus. Hal ini menunjukkan adanya kelainan pada proses transduksi.3
Penghantaran nyeri pada proses transmisi juga mengalami gangguan. Hal ini diakibatkan oleh hilangnya impuls yang disalurkan oleh serabut tebal, sehingga semua impuls yang masih bisa disalurkan kebanyakan oleh serabut halus. Akibatnya sumasi temporal tidak terjadi, karena impuls yang seharusnya dihantarkan melalui serabut tebal dihantarkan oleh serabut halus. Karena sebagian besar dari serabut tebal sudah tidak ada, maka mayoritas dari serabut terdiri dari serabut halus. Karena itu sumasi temporal yang wajar menghilang.3
Dengan hilangnya sumasi temporal maka proses modulasi yang terjadi pada kornu posterior tidak berjalan secara normal, akibatnya tidak terjadi proses antara sistem analgesik endogen dengan asupan nyeri yang masuk ke kornu posterior. Kornu posterior adalah pintu gerbang untuk membuka dan menutup jalur penghantaran nyeri. Hal ini dapat mengakibatkan munculnya gejala hiperalgesia. Maka dari itu impuls yang dipancarkan ke inti thalamus semuanya tiba kira-kira pada waktu yang sama dan hampir semuanya telah dihantarkan oleh serabut halus yang merupakan serabut penghantar impuls nyeri. Kedatangan impuls yang serentak dalam jumlah yang besar dipersepsikan sebagai nyeri hebat yang sesuai dengan sifat neuralgia. Sesuai dengan tipe pada penghantaran serabut saraf masing-masing, yaitu serabut saraf tipe A membawa nyeri tajam, tusuk dan selintas sedangkan serabut saraf tipe C membawa nyeri lambat dengan rasa terbakar dan berkepanjangan. Hal ini mengakibatkan timbulnya allodinia, yaitu nyeri yang disebabkan oleh stimulus normal (secara normal semestinya tidak menimbulkan nyeri).3,14
Pada level selular, bukti menunjukkan peningkatkan proporsi kanal natrium  voltage-gated, perubahan kanal kalium voltage-gated, dan regulasi berlebih pada reseptor yang berhubungan dengan nyeri seperti transient receptor potential vanilloid 1 (TRPV1). Perubahan ini berhubungan dengan nyeri spontan dan yang dirangsang ke ambang yang lebih rendah pada potensial aksi. TRPV1 merupakan kanal kalsium nonselektif dengan permeabilitas kalsium yang tinggi yang diekspresikan pada ujung terminal dari neuron sensori berdiameter kecil. Inhibisi dari reseptor TRPV1 dapat mencegah potensial aksi pada neuron perifer yang menuju pada transmisi nyeri. Terdapat juga bukti bahwa hilangnya interneuron inhibitor γ—aminobutyyric acid pada kornu dorsal sesuai dengan hilangnya inhibisi desenden.13
Meskipun terdapat predileksi untuk keikutsertaan nervus dan ganglion sensoris, deficit motorik dapat terjadi dari perluasan infeksi serta inflamasi pada kornu anterior medulla spinalis.13
Gambar 2. Model terjadinya NPH.13

NPH dibedakan menjadi dua submodel, yaitu irritable nociceptor dan deafferentation. Model irritable nociceptor berhubungan dengan aktivitas Serabut serat C dan adanya alodinia taktil, mekanik, dan suhu yang berat dengan kehilangan sensoris yang kecil atau tidak ada sama sekali. Nosiseptor Serabut serat C biasanya hanya terstimulasi oleh stimulus noxious, namun dengan adanya perubahan selular yang telah dijelaskan di atas menyebabkan serat saraf ini tersensitisasi, merendahkan ambang aksi potensialnya, dan meningkatkan level dan besar pelepasannya. Luaran klinisnya adalah nyeri spontan dan alodinia termediasi NPH.13
Model deafferentation berhubungan dengan alodinia dan kehilangan sensoris yang berhubungan dengan dermatom. Deafferentation perifer menghasilakn reorganisasi kornu posterior. Serabut serat C yang tersensitisasi pada saraf perifer berkurang jumlahnya yang mengakibatkan bertunasnya serat A-β (serat berdiameter tebal yang berespon terhadap stimulus mekanik seperti raba dan tekanan). Pertunasan serat A-β akhirnya menghasilkan hubungan dengan traktus spinotalamikus pada medulla spinalis yang sebelumnya mengadakan sinaps dengan serat C untuk menghantarkan nyeri. Luaran klinis dari reorganisasi kornu dorsal yang disebabkan oleh degenerasi serat C dengan perhubungan serat A-β mengakibatkan rangsang sentuh dan tekanan menjadi berkomunikasi silang dengan traktus spinotalamikus yang menghantarkan nyeri, menghasilkan alodinia yang diperantarai SSP.13
Sensitisasi sentral juga memainkan peranan penting dalam NPH karena impuls yang terus menerus dan konstan menuju medulla spinalis, juga dengan cedera virus secara langsung menyebabkan eksitabilitas kronik sehingga input normal dan banyak dari nosiseptor perifer menghasilkan respon sentral yang meningkat.13
Patogenesis terjadinya herpes zoster disebabkan oleh reaktivasi dari virus varisella zoster yang hidup secara dorman di ganglion. Imunitas seluler berperan dalam pencegahan pemunculan klinis berulang virus varicella zoster dengan mekanisme yang tidak diketahui. Hilangnya imunitas seluler terhadap virus dengan bertambahnya usia atau status immunocompromise dihubungkan dengan tanda reaktivasi klinis. Saat terjadi reaktivasi, virus berjalan di sepanjang akson menuju ke kulit. Pada kulit terjadi proses peradangan dan telah mengalami denervasi secara parsial. Di sel-sel epidermal, virus ini bereplikasi menyebabkan pembengkakan, vakuolisasi dan lisis sel sehingga hasil dari proses ini terbentuk vesikel yang dikenal dengan nama Lipschutz inclusion body. Pada ganglion kornu dorsalis terjadi proses peradangan, nekrosis hemoragik, dan hilangnya sel-sel saraf. Inflamasi pada saraf perifer dapat berlangsung beberapa minggu sampai beberapa bulan dan dapat menimbulkan demielinisasi, degenerasi wallerian dan proses sklerosis. Proses perjalanan virus ini menyebabkan kerusakan pada saraf.3
Beberapa perubahan patologi yang dapat ditemukan pada infeksi virus varisella zoster: 15
  1. Reaksi inflamatorik pada beberapa unilateral ganglion sensorik di saraf  spinal atau saraf kranial sehingga terjadi nekrosis dengan atau tanpa tanda perdarahan.
  2. Reaksi inflamatorik pada akar spinal dan saraf perifer beserta ganglionnya.
  3. Gambaran poliomielitis yang mirip dengan poliomielitis anterior akut, yang dapat dibedakan dengan lokalisasi segmental, unilateral dan keterlibatan dorsal horn, akar dan ganglion.
  4. Gambaran leptomeningitis ringan yang terbatas pada segmen spinal, kranial dan akar saraf yang terlibat.

Pada otopsi pasien yang pernah mengalami herpes zoster dan NPH ditemukan atrofi kornu dorsalis, sedangkan pada pasien yang mengalami herpes zoster tetapi tidak mengalami NPH tidak ditemukan atrofi kornu dorsalis.3

Mekanisme nyeri 16
Proses terjadinya nyeri secara umum dapat dibagi menjadi 4 fase :
1.      Fase I : proses stimulasi singkat (nyeri nosiseptif)
2.      Fase II : proses stimulasi yang berkepanjangan, yang menyebutkan lesi atau inflamasi jaringan (nyeri inflamasi)
3.      Fase III : proses yang terjadi akibat lesi dari sistem saraf (nyeri neuropatik)
4.      Fase IV : proses yang terjadi akibat respon abnormal susunan saraf (nyeri fungsional)

Fase I disebut juga nyeri nosiseptif. Pukulan, cubitan, aliran listrik dan sebagainya, yang mengenai bagian tubuh tertentu akan menyebabkan timbulnya persepsi nyeri. Bila stimulasi tersebut tidak begitu kuat dan tidak menimbulkan lesi, maka persepsi nyeri yang timbul akan terjadi dalam waktu singkat.16
Fase II, nyeri yang terjadi pada fase II berbeda dengan fase I. Pada fase II, stimuli yang merangsang jaringan cukup kuat, sehingga jaringan akan menyebabkan fungsi berbagai komponen sistem nosiseptif berubah.16
Ciri khas dari inflamasi ialah rubor, kalor, tumor, dolor dan fungsiolesa. Rubor dan kalor merupakan akibat bertambahnya aliran darah, tumor akibat meningkatnya permeabilitas pembuluh darah, dolor terjadi akibat aktivasi atau sensitisasi nosiseptor dan berakhir dengan adanya penurunan fungsi jaringan yang mengalami inflamasi (fungsiolesa).16
Perubahan sistem nosiseptif pada inflamasi disebabkan oleh jaringan yang mengalami inflamasi mengeluarkan berbagai mediator inflamasi, speri bradikinin, prostaglandin, leukotrien, amin, purin, sitokin, dan sebagainya, yang dapat mengaktivasi atau men-sensitisasi nosiseptor secara langsung maupun tidak langsung.16
Fase III dikenal sebagai nyeri neuropatik. Lesi saraf tepi atau sentral akan mengakibatkan hilangnya fungsi seluruh atau sebagian dari sistem saraf tersebut. Lesi saraf menyebabkan perubahan fungsi neuron sensorik yang dalam keadaan normal dipertahankan secara aktif oleh keseimbangan antara neuron dengan lingkungannya. Gangguan yang terjadi dapat berupa gangguan keseimbangan neuron sensorik, melalui perubahan molekuler, sehingga aktivitas sistem saraf aferen menjadi abnormal (mekanisme perifer) yang selanjutnya menyebabkan gangguan nosiseptif sentral (sensitisasi sentral). 4 mekanisme penyebab timbulnya aktivitas abnormal sistem saraf aferen akibat lesi, yaitu: 3,16
1.      aktivitas ektopik
2.      sensitisasi nosiseptor
3.      interaksi abnormal antar serabut saraf
4.      hipersensitivitas terhadap katekolamin
Fase IV disebut nyeri fungsional yang merupakan konsep yang masih baru. Bentuk sensitivitas nyeri ini ditandai dengan tidak ditemukannya abnormalitas perifer dan defisit neurologis. Nyeri disebabkan oleh respon atau fungsi abnormal sistem saraf, dimana sensitivitas apparatus sensorik memperkuat gejala. Beberapa kondisi umum memiliki gambaran tipe nyeri ini yaitu fibromyalgia, irritable bowel syndrome, beberapa bentuk nyeri dada non-kardiak, dan nyeri kepala tipe tegang.16
Allodinia adalah nyeri yang disebabkan oleh stimulus normal (secara normal semestinya tidak menimbulkan nyeri). Impuls yang dijalarkan serabut Aß yang biasanya berupa sentuhan halus atau raba normal dirasakan normal, tetapi pada allodinia dirasakan sebagai nyeri. Mekanisme terjadinya allodinia disebabkan oleh adanya : 3,16
  1. Sensitisasi sentral, dimana terjadinya peningkatan jumlah potensial aksi sebagai respon terhadap stimuli noksius dan penurunan nilai ambang rangsang sehingga stimuli non noksius mampu menimbulkan rasa nyeri.
  2. Perubahan serabut Aß dimana serabut ini mengeluarkan substansia P. Pada nyeri neuropatik hal ini berlangsung terus dikarenakan sumber impuls datang dari perifer berupa ectopic discharge.
  3. Hilangnya kontrol inhibisi. Neurotransmitter inhibisi seperti GABA atau glycin berfungsi untuk mempertahankan potensial membran mendekati potensial istirahat. Tetapi pada nyeri neuropatik terdapat penurunan aktivitas inhibisi (hal ini diperkirakan oleh karena kematian sel-sel inhibisi). Sehingga terjadi eksitasi berlebihan.
Nyeri pada NPH merupakan nyeri neuropatik yang diakibatkan dari perlukaan saraf perifer sehingga terjadi perubahan proses pengolahan sinyal pada sistem saraf pusat. Saraf perifer yang sudah rusak memiliki ambang aktivasi yang lebih rendah sehingga menunjukkan respon berlebihan terhadap stimulus. Regenerasi akson setelah perlukaan menimbulkan percabangan saraf yang juga mengalami perubahan kepekaan. Aktivitas saraf perifer yang berlebihan tersebut menimbulkan perubahan berupa hipereksitabilitas kornu dorsalis sehingga pada akhirnya menimbulkan respon sistem saraf pusat yang berlebihan terhadap semua rangsang masukan/sensorik.17

2.4 Faktor Risiko
Oleh karena herpes disebabkan oleh virus herpes zoster, hanya mereka yang pernah mengidap cacar air bisa mengidap herpes zoster. Zoster bisa terjadi apabila sistem imun seorang individu telah lemah. Ini bisa terjadi secara alami bila manusia menua. Oleh itu, orang yang lebih tua (>50) lebih berisiko mendapat zoster. Setiap faktor yang bisa melemahkan sistem imun seperti AIDS, diabetes, penyakit Hodgkins, leukemia dan obat seperti steroid, bisa meningkatakan faktor risiko untuk mendapat zoster.18
Semakin tua seseorang, semakin bisa mereka mengidap NPH. Derajat dan jangka masa NPH juga meningkat dengan umur. Bisa terjadi seseorang yang muda untuk mengidap NPH, tetapi ini amat jarang sekali. Terdapat faktor lain yang bisa meningkatkan risiko NPH dapat mengkomplikasi erupsi zoster.18
Wanita lebih cenderung mengidap NPH. Kebanyakan wanita melaporkan iritasi daripada pemakaian produk kewanitaan seperti tampon dan pembersih hygiene wanita yang menyebabkan iritasi pada tempat yang digunakan. Wanita juga lebih cenderung mendapatkan NPH sekitar waktu haid. Wujudnya prodrome di mana rasa nyeri yang berdenyut-denyut dan hipesthesi di dermatome di mana herpes zoster bakalan muncul merupakan faktor risiko untuk NPH.19
Penelitian bisa menunjukkan bahwa lebih banyak nyeri yang dirasakan oleh pasien pada awal penyakit, lebih cenderung pasien mendapat NPH. Derajat dan stess psikologis yang muncul pada waktu munculnya zoster bisa menjadi faktor risiko. Seseorang yang mempunyai “personality disorder” atau depresi lebih cenderung mengidap NPH.19
            Di samping itu, zoster yang mengenai kepala bagian depan dan mata pasien yang juga dinamakan zoster ophthalmic, bias meningkatkan faktor risiko untuk NPH.19
Penelitian dapat menunjukkan bahwa Caucasians lebih cenderung mengidap NPH dari orang ras Afrika, Asia atau Hispanik. Zoster tidak dapat tertular secara langsung, tetapi mereka yang tidak pernah mengidap cacar air berkontak dengan mereka yang mengidap zoster bias mendapat cacar air. Di samping ini, setiap faktor risiko untuk mengidap varicella (Varicella-Zoster Virus) juga merupakan faktor risiko untuk mendapat NPH. Ini adalah sebab NPH hanya mempengaruhi seseorang yang mempuyai VZV yang telah pun berumah di badan seseorang tersebut.19
Ini merupakan faktor risiko:19
·         Orang yang tidak pernah mengidap cacar air
·         Orang yang tidak pernah mendapat vaksinasi terhadap cacar air
·         Orang yang ada kontak dengan orang yang mengidap cacar air atau dengan alat makan atau barang pribadi mereka
·         Orang dengan sistem imun yang tidak kuat (immunocompromised) seperti mereka yang mengidap AIDS, HIV, menjalani chemotherapy, deformitaskongenital)
·         Orang dengan kanker
·         Wanita hamil
·         Anak-anak kecil


BAB III
KESIMPULAN


NPH adalah suatu kondisi nyeri yang dirasakan di bagian tubuh yang pernah terserang infeksi herpes zoster (cacar ular). Herpes zoster sendiri merupakan suatu reaktivasi virus varicella (cacar air) yang berdiam di dalam jaringan saraf.
NPH  dapat  diklasifikasikan  menjadi neuralgia herpetik akut (30 hari setelah timbulnya ruam pada kulit), neuralgia herpetik subakut (30-120 hari setelah  timbulnya  ruam  pada  kulit)  dan  NPH  (di  definisikan sebagai  rasa  sakit  yang  terjadi  setidaknya  120  hari  setelah  timbulnya  ruam  pada kulit).
NPH lebih banyak menyerang lansia dan orang dengan kekebalan tubuh yang rendah. Data seluruh dunia menunjukkan di antara pasien herpes zoster yang berumur di atas 60 tahun, 6% masih merasakan nyeri saat 1 bulan sejak terkena herpes zoster; dan 1% masih merasakan nyeri 3 bulan sesudahnya.
Patofisiologi NPH terjadi oleh karena cedera neuron yang mengenai sistem saraf baik perifer maupun pusat. Cedera ini mengakibatkan neuron sentral dan perifer mengadakan discharge spontan sementara juga menurunkan ambang aktivasi untuk menghasilkan nyeri yang tidak sesuai pada stimulus yang tidak menyebabkan nyeri. Biopsi kulit menunjukkan hilangnya ujung saraf bebas epidermal pada daerah yang terkena. Namun, reinervasi tidak dibutuhkan untuk resolusi nyeri.
Faktor risiko pasien dengan Neuralgia Pasca Herpetic adalah:
·         Orang yang tidak pernah mengidap cacar air
·         Orang yang tidak pernah mendapat vaksinasi terhadap cacar air
·         Orang yang ada kontak dengan orang yang mengidap cacar air atau dengan alat makan atau barang pribadi mereka
·         Orang dengan sistem imun yang tidak kuat (immunocompromised) seperti mereka yang mengidap AIDS, HIV, menjalani chemotherapy, deformitaskongenital)
·         Orang dengan kanker
·         Wanita hamil
·         Anak-anak kecil

DAFTAR PUSTAKA


1.      Ngoerah I.G.N.G., (1991), ”Dasar-Dasar Ilmu Penyakit Saraf” , Airlangga University Press pp 349-350 Surabaya 1991.
2.      Meliala L. Neuralgia Pasca Herpes. Nyeri Neuropatik. Kelompok Studi Nyeri PERDOSSI 2008 ; 63-76
3.      Martin. Ilmiah : NPH2008. [on line] http://www.perdossijaya.org/perdossijaya/index.php?option=com_content&view=section&id=7&layout=blog&Itemid=63 – 92k –
4.      Tanra, H. Suplement : Nyeri Suatu Rahmat Sekaligus Sebagai Tantangan. Bidang Ilmu Kedokteran Umum Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin. Makassar 2005; 26 (3) 75-83
5.      K. K. Sra, MD and S. K. Tyring, MD, PhD, MBATreatment of NPH. USA : 2008; (29) [on line] http:// Skin Therapy Letter .com
6.      Ropper, A. H. Principles Of Neurology : Viral Infection of the Nervous system, chronic meningitis, prion disease. New York : McGraw-Hill. 2005 (8) : 643-644
7.      W Alvin McElveen. 2012. NPH. Diakses dari: http://emedicine.medscape.com/article/1143066-overview.
8.      Djuanda, A dkk.  Ilmu Penyakit Kulit dan kelamin : Penyakit Virus. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 1993; (3): 94-95
9.      Bowsher D. The lifetime occurence of herpes zoster and prevalence of post-herpetic neuralgia: a retrospective survey in an elderly population. Eur J Pain 1999;3:335-42
10.  Dworkin RH, Portenoy RK. Proposed classification of herpes zoster pain. Lancet 1994;343:1648.
  1. Robert Zorba Paster, The Challenges of in the Long-Term Care Setting Postherpetic Neuralgia. Endo Pharmaceuticals. 2011;1:1.
12.  Mario Roxas, ND. 2006. Herpes Zoster and NPH: Diagnosis and Therapeutic Considerations. Alternative Medicine Review. 2006; 11:2
13.  Jericho Barbara G. Postherpetic Neuralgia: A Review. The Internet Journal of Orthopedic Surgery. 2010;16: 2.
14.  Gharibo Christopher, Kim Carolyn. Neuropatic Pain of Postherpetic Neuralgia. Pain Medicine News Special Edition. 2010
15.  Hopper AH, Brown RH. Adams and Victor’s Principles of Neurology. 7th ed. New York, NY: McGraw Hill; 2005:797
16.  Meliala L. Patofisiologi Nyeri. Nyeri Neuropatik. Kelompok studi nyeri PERDOSSI 2008 ; 1-28
17.  Meliala L. NPH. Penuntun Penatalaksaan Nyeri Neuropatik. Kelompok studi nyeri PERDOSSI 2007 ; 59-60
18.  Anonim. 2012. Post-Herpetic Neuralgia. Diakses dari: http://www.healingchronicpain.org/content/neuralgia/default.asp
19.  Anonim. 2012. Postherpetic Neuralgia. Diakses dari: http://www.patient.co.uk/health/Postherpetic-Neuralgia.htm
Unknown

Entri Populer

Komentar Kita